Jakarta (ANTARA News) - Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Darmin Nasution mengatakan bahwa sekarang tidak ada bank yang masuk dalam pengawasan khusus BI, tetapi bank dalam pengawasan intensif ada.

"Kalau ((pengawasan) intensif itu ada, tapi (pengawasan) khususnya belum," katanya di Jakarta, Jumat, namun tidak bersedia menyebutkan jumlah bank dalam pengawasan intensif itu.

Bank yang masuk dalam pengawasan intensif BI karena bank memiliki kredit bermasalah (NPL) lebih dari lima persen. Untuk itu BI mendorong agar memperbiki pengelolaan NPL tersebut.

Apabila ketika dalam pengawasan intensif, bank justru semakin memburuk dan modalnya tergerogoti hingga rasio kecukupan modal (CAR) dibawah delapan persen, maka BI akan memasukan bank itu ke dalam pengawasan khusus.

Untuk itu BI akan memberikan kesempatan untuk menambah modal atau menjualnya kepada investor yang berminat sehingga menambah modalnya.

BI memberikan jangka waktu tiga bulan untuk menambahkan modalnya dan bisa diperpanjang sesuai dengan keputusan rapat Dewan Gubernur BI. Bila sampai dengan batas waktu tidak juga berhasil memenuhinya, BI akan melikuidasinya.

Sementara itu, pada saat krisis keuangan terjadi akhir 2008, setidaknya ada 18 bank masuk dalam pengawasan intensif dan lima bank masuk dalam pengawasan khusus.

Hal ini diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI, Kamis.

Menurut Menkeu, bank yang masuk dalam pengawasan BI tersebut mengalami tekanan karena terjadinya krisis keuangan yang melanda dunia. Akibatnya di Indonesia bank-bank kecil kehilangan dana pihak ketiganya yang berpindah ke bank besar.

Untuk menyelamatkan sistem perbankan dan mencegah terjadinya krisis yang sistemik, pemerintah melalui LPS akhirnya mengambil keputusan untuk mengambilalih Bank Century pada November 2008 yang kolaps saat itu.

Bank Centuty diambil alih untuk memberikan rasa kepercayaan kepada masyarakat, sebab saat itu bank-bank yang masuk ke dalam pengawasan memiliki kemiripan dengan Bank Century.

Saat itu, LPS yang awalnya menyuntik Rp2 triliun, membengkak menjadi Rp6,7 triliun untuk menyelamatkan bank itu. LPS beralasan pembengkakan itu karena diantaranya banyak dana pihak ketiga yang kemudian lari dari bank itu, sehingga harus ditalangi.
(*)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009