upaya luar biasa dari pemenang Equator Prize memberikan efek meluas
Jakarta (ANTARA) - Bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup Sedunia Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) dan para mitranya menobatkan Forum Musyawarah Masyarakat Adat Taman Nasional Kayan Mentarang sebagai salah satu penerima Equator Prize 2020.
 

Terdiri dari 11 kelompok adat yang tersebar di areal seluas 20.000 kilometer persegi (km2), Forum Musyawarah Masyarakat Adat Taman Nasional Kayan Mentarang (FoMMA) berhasil mengadvokasi pengaturan pengelolaan kolaboratif pertama untuk Taman Nasional di Indonesia, di mana pemerintah dan otoritas adat memutuskan bersama tentang pengelolaan dan akses sumber daya dan penggunaan hak-hak adat.
 

“Ketika alam kita menghadapi berbagai tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya, Equator Prize menampilkan berbagai solusi berbasis alam yang luar biasa yang dipelopori oleh komunitas lokal dan masyarakat adat,” kata Administrator UNDP Achim Steiner dalam keterangan tertulisnya diterima di Jakarta, Jumat.
 

Ketika negara-negara bergerak untuk membangun kembali dengan lebih baik setelah pandemi COVID-19, Steiner mengatakan memang cara-cara inovatif untuk melindungi ekosistem, keanekaragaman hayati dan mengatasi perubahan iklim ini menjadi lebih penting daripada sebelumnya.
 

“Saya berharap bahwa upaya luar biasa dari pemenang Equator Prize akan memberikan efek yang meluas di seluruh dunia,” ujar dia.
 

Pada saat yang sama, banyak dari komunitas tersebut semakin kehilangan hak-hak mereka karena perampasan tanah, penambangan atau penebangan ilegal sehingga upaya pemulihan dan pembangunan ketahanan harus berusaha untuk meningkatkan hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal, kata Steiner.

Baca juga: Equator Prize UNDP angin segar perjuangan Dayak Benuaq

Baca juga: Equator Prize untuk komunitas adat Dayak Benuaq

 

Pada tahun 2019, Rumah Panjang Dayak Iban Sungai Utik Indonesia dari Kalimantan Barat juga telah memenangkan Equator Prize.
 

Equator Prize memberi pengharggan kepada 10 komunitas lokal dan adat dari seluruh dunia. Organisasi pemenang menunjukkan solusi inovatif berbasis alam untuk mengatasi kehilangan keanekaragaman hayati dan perubahan iklim.
 

Selama bertahun-tahun, para pemenang Equator Prize yang mewakili komunitas adat telah mendorong untuk mengadopsi cara yang lebih baik untuk hidup berdampingan dengan alam, mengakui dan menghormati hubungan antara kesehatan manusia dan Bumi.
 

Sekarang, mereka mengulangi pesan itu dengan mempertimbangkan virus corona, bagaimana perlindungan, penggunaan berkelanjutan, dan pemulihan alam dapat memastikan kesejahteraan dan mata pencaharian bagi masyarakat di seluruh dunia.
 

Ini adalah pertama kalinya Equator Prize diberikan kepada kelompok-kelompok dari Kanada dan Myanmar. Pemenang juga berasal dari Republik Demokratik Kongo, Ekuador, Guatemala, Indonesia, Kenya, Madagaskar, Meksiko dan Thailand.
 

Selama Super Year for Nature, pendekatan mereka mencontohkan tindakan apa yang dapat diambil untuk melindungi ekosistem dan keanekaragaman hayati yang penting bagi generasi yang akan datang.

 Prestasi para pemenang juga menunjukkan bagaimana masyarakat adat dan komunitas lokal mengatasi ketertinggalan dan diskriminasi dalam mendukung komunitas mereka, dan dunia secara secara lebih luas.
 

Pemenang Equator Prize masing-masing akan menerima 10.000 dolar AS dan kesempatan untuk bergabung dengan serangkaian acara khusus yang terkait dengan Majelis Umum PBB, KTT Alam PBB dan Pekan Iklim Global pada akhir September.
 

“Para pemenang dipilih dari 583 nominasi dari lebih dari 120 negara oleh Komite Penasihat Teknis independen yang terdiri dari para pakar terkenal internasional. Seleksi ini berdasarkan pada pendekatan berbasis masyarakat yang menyediakan cetak biru untuk replikasi dan peningkatan skala solusi untuk mengatasi krisis keanekaragaman hayati kita,” kata Steiner.

Baca juga: Tokoh adat Dayak Benuaq dapat Equator Prize

 

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020