Bekasi (ANTARA) - Kematian seorang pria berkulit hitam, George Floyd, setelah lehernya ditindih lutut polisi berkulit putih di Minneapolis menimbulkan protes keras dari banyak orang di Amerika Serikat.

Ribuan orang turun ke jalan di Minneapolis dan Minnesota mengutuk kematian Floyd dan menentang segala bentuk diskriminasi dan rasisme.

Aksi unjuk rasa anti-rasisme juga meletus di kota-kota besar lainnya di Amerika Serikat.

Bahkan, aksi protes tersebut berakhir ricuh diwarnai bentrokan antara polisi dan demonstran.

Rentetan demonstrasi menentang rasisme juga terjadi di beberapa kota di Asia dan Eropa, seperti di London, Inggris.

Aksi demontrasi yang berkepanjangan ini juga tidak terlepas dari Kampanye ‘hitam’ Trump di musim kampanye Pilpres AS yang rasis.

Kampanye ‘hitam’ Trump di musim kampanye Pilpres AS yang rasis, yang menunjukkan sentimen negatif terhadap imigran kulit warna dan kaum Muslim, telah menabung bara api yang meledak dalam kerusuhan rasial sekarang.

Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siroj.

Said Aqil mengatakan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika ke-45 telah menguak borok demokrasi Amerika yang selama ini tampil bak ‘polisi’ demokrasi dunia.

Demokrasi Amerika tengah sekarat karena menghasilkan pemimpin konservatif yang menyeret demokrasi ke titik anti-klimaks dengan retorika-retorika politik iliberal yang selama ini dimusuhinya.

Perubahan haluan yang drastis dari Presiden yang diusung Partai Demokrat (Obama) ke Presiden yang diusung Partai Republik (Trump) menunjukkan fondasi demokrasi Amerika tidak sekokoh seperti yang didengung-dengungkan selama ini, kata Said Aqil.

Diskriminasi rasial dan kesenjangan ekonomi telah menjadi cacat bawaan seperti telah disinggung oleh Gunnar Myrdal sejak 1944 dalam bukunya An American Dilemma. Demokrasi Amerika akan terus dihantui oleh pertarungan abadi antara ide persamaan hak dan prasangka rasial.

Keyakinan Myrdal bahwa pada akhirnya demokrasi akan menang atas rasisme tidak terbukti sampai sekarang. Diskriminasi atas warga Afro-Amerika telah memicu kerusuhan rasial yang terus berulang hingga 11 kali dalam setengah abad sejak 1965.
Seorang pengunjuk rasa mengacungkan kepalan tangannya di depan polisi ketika demo memprotes kematian George Floyd saat ditahan oleh polisi Minneapolis, di Columbia, South Carolina, Amerika Serikat, Sabtu (30/5/2020). REUTERS/Sam Wolfe/foc/cfo (REUTERS/SAM WOLFE/SAM WOLFE)


Said Aqil mengatakan keadilan, persamaan hak, pemerataan, dan perlakuan tanpa diskriminasi terhadap seluruh kelompok masyarakat merupakan nilai-nilai demokrasi yang gagal dicontohkan Amerika. Standar ganda yang sering digunakan Amerika dalam isu HAM, perdagangan bebas, dan terorisme menunjukkan wajah bopeng demokrasi yang tidak patut ditiru.

Nahdlatul Ulama (NU) memandang bahwa demokrasi masih merupakan sistem terbaik yang sejalan dengan konsep syûrâ di dalam Islam. Namun, NU menolak penyeragaman demokrasi liberal ala Amerika sebagai satu-satunya sistem terbaik untuk mengatur negara dan pemerintahan.

Indonesia tidak perlu membebek Amerika dan negara manapun untuk membangun demokrasi yang selaras dengan jati diri dan karakter bangsa Indonesia. Demokrasi yang perlu dibangun tetap harus berlandaskan pada prinsip musyawarah-mufakat dalam politik dan gotong royong dalam ekonomi. Demokrasi yang sejalan dengan penguatan cita politik sebagai bangsa yang nasionalis-religius dan religius-nasionalis.

Nahdlatul Ulama memandang bahwa kejadian kerusuhan rasial di Amerika saat ini perlu menjadi bahan refleksi serius agar peristiwa serupa tidak terulang di negara mana pun.

Sementara itu Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah, mengatakan secara teori, aksi demonstrasi yang berkepanjangan ini membuka mata dunia, bahwa tidak ada satupun negara di dunia yang memiliki sistem demokrasi yang sempurna.

Baca juga: Pengamat: aksi demonstrasi di AS buka mata dunia terkait demokrasi

Baca juga: Pakar: Demo kasus George Floyd akumulasi kekecewaan terhadap Trump


Karena demokrasi itu sendiri adalah sebuah proses yang harus dibangun terus menerus, lintas generasi, lewat program pembangunan yang terstruktur dan komprehensif, serta mengambil hikmah dari praktik-praktik terbaik yang terjadi di dalam dan luar negeri, dari masa kini dan masa lalu.

Amerika Serikat yang sejak tahun 1945 menyebut dirinya sebagai adi kuasa dan model terbaik dari demokrasi, sehingga seringkali memaksakannya ke negara lain, saat ini menghadapi dilema.

Dilema yang dihadapi Amerika Serikat saat ini adalah membuktikan keberhasilan dirinya menjalankan nilai-nilai universal yang selama ini menjadi simbol kepemimpinan globalnya.

Titik lemah Amerika Serikat yang paling jelas adalah mengelola hubungan antar ras dengan basis kesetaraan dalam bidang pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan pelayanan hukum.

Hal ini terbukti dari besarnya peserta demonstrasi yang berlatar belakang minoritas, seperti Afro-Amerika, Hispanik, dan Asia. Adanya warga kulit putih yang ikut aksi demo adalah merupakan pengakuan mereka, yang juga ingin mereformasi manajemen Kepolisian dan sistem penegakan hukum di dalam negeri.
Pengunjuk rasa berjalan menyebrangi Jembatan Brooklyn di New York saat melakukan protes atas kematian George Floyd saat ditahan oleh polisi Minneapolis, Amerika Serikat, Kamis (4/6/2020). ANTARA FOTO/REUTERS/Jeenah Moon/WSJ/cfo (ANTARA FOTO/REUTERS/Jeenah Moon/WSJ/cfo/JEENAH MOON)


Titik lemah selanjutnya adalah sulitnya pengambilan keputusan atas isu-isu strategis, baik lokal maupun global. Terbukti, Donald Trump secara sepihak mengangkat para loyalis, dan bukannya pejabat karir yang nasionalis dan profesionalismenya teruji. Sekitar 30 persen tokoh-tokoh senior di Gedung Putih, Pentagon, Kementerian Luar Negeri, termasuk Duta Besar di seluruh dunia adalah para loyalis, yang segan mengkritik presiden mereka.

Baca juga: Capres AS Joe Biden akan temui keluarga Floyd

Kritik di dalam negeri juga tertuju pada kualitas Donald Trump sendiri, yang rasa percaya dirinya sangat berlebihan, dan sulit membangun komunikasi dengan para tokoh pemuda, agama, profesi, dan masyarakat di luar kulit putih. Karena itulah, gelombang demonstrasi semakin meluas, yang dibahasakan Trump sendiri sebagai sudah dicampuri kelompok-kelompok sayap kiri, sayap kanan, dan kelompok-kelompok radikal.

Trump memang terlihat sangat gamang, karena wabah COVID-19 yang sedang terjadi, sudah benar-benar menguras energi nasional, dengan angka kematian yang sudah melewati 100.000.

Catatan buruk ini berpotensi meruntuhkan kepemimpinan Partai Republik, di tingkat pusat dan negara bagian, yang akan diisi oleh Partai Demokrat.

"Apakah sistem demokrasi Amerika Serikat akan sekarat? Jawabannya tidak," ujar Teuku.

Karena mereka adalah bangsa yang besar, sudah terbiasa menghadap berbagai macam krisis, dan sanggup bangkit kembali. Mereka juga sadar, jika gelombang demonstrasi yang tidak berujung ini akan melecehkan Amerika Serikat di seluruh dunia, menjatuhkan ekonomi negara mereka, dan memberikan panggung pada Republik Rakyat China, untuk menggantikan kepemimpinan global Amerika Serikat.

Kuncinya sekarang berada di tangan Donald Trump sendiri. Dialah yang harus menjawab, ingin menjadi sosok presiden seperti apakah dirinya di hati masyarakat Amerika Serikat dan dunia?

Terlepas dari potensi menang ataupun kalah, Donald Trump dan Partai Demokrat hendaknya membangun sebuah koalisi moral untuk mempercepat kerukunan nasional serta pemulihan ekonomi nasional.


Baca juga: Demokrat hati-hati tanggapi desakan kurangi anggaran kepolisian di AS

Baca juga: Setelah insiden Floyd, Minneapolis berencana "tutup" kepolisian

Editor: Fardah Assegaf
Copyright © ANTARA 2020