Semarang (ANTARA News) - Petualangan gembong teroris Noordin M Top berakhir di Solo, Jawa Tengah, setelah selama sembilan tahun menorehkan rekam jejak yang panjang dalam daftar pencarian orang (DPO).

Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri di Jakarta, Kamis (17/9), sekitar pukul 16:00 WIB mengumumkan secara resmi, bahwa salah satu korban tewas saat penyergapan di Solo, Jawa Tengah adalah Noordin M Top.

Wakil Presiden M Jusuf Kalla mengucapkan selamat dan sampaikan penghargaan tinggi kepada Kepolisian Republik Indonesia (Polri) atas keberhasilannya menewaskan gembong teroris Noordin M Top.

"Kita patut ucapkan selamat dan apresiasi kepada Kapolri dan seluruh jajaran Polri atas usahanya dan pengabdian yang tak kenal lelah menjaga keamanan bangsa ini," kata Wapres.

Wapres berharap dengan tewasnya Noodin M Top dapat mengurangi aksi-aksi terorisme di Indonesia.

Noordin M Top (41) diduga kuat berada di balik aksi terorisme di Indonesia mulai Bom Bali Tahun 2002 yang menewaskan 202 orang, pengeboman Hotel JW Marriott tanggal 5 Agustus 2003, Kedubes Australia di Jakarta pada 9 September 2004, Bom Bali II pada 1 Oktober 2005, dan dalang pengeboman bom di Mega Kuningan yakni JW Marriott dan Ritz Carlton tanggal 17 Juli 2009.

Bahkan, berdasarkan keterangan polisi, Noordin sempat merencanakan mengebom Istana Negara dan kediaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Cikeas, Bogor, Jawa Barat.

Namun, rencana tersebut berhasil digagalkan. Polisi melakukan penggrebekan pada 8 Agustus 2009 di salah satu rumah di Perumahan Puri Nusapala, Kelurahan Jati Luhur, Kecamatan Jati Asih, yang diduga menjadi tempat persembunyiannya.

Dalam waktu bersamaan, polisi juga menggrebek sebuah rumah di Temanggung, Jateng dan satu orang tewas bahkan sempat diduga Noordin M Top.



Akhir Petualangan

Penyergapan kembali dilakukan di Kampung Kepuh Sari, Kelurahan Mojosongo, Kecamatan Jebres, Kota Surakarta, sejak Rabu (16/9) malam hingga Kamis (17/9) pagi di rumah yang diketahui milik milik Totok warga RT 03/11 Kampung Kepuh Sari, Mojosongo yang dikontrak orang bernama Hadi Susilo.

Penyergapan yang dilakukan Detasemen Khusus Anti Teror Polri atau biasa disebut Densus 88 yang dibantu Polda Jateng itu berlangsung sekitar tujuh jam mulai pukul 23:30 WIB hingga berakhir pada Kamis pagi sekitar pukul 06:00 WIB, sebagai tindak lanjut atas penangkapan dua tersangka teroris lain yakni Rahmat Puji Prabowo alias Bejo dan Supono alias Kedu di Pasar Gading, Solo, sekitar lima jam sebelumnya.

Dalam penyergapan tersebut, rumah yang menjadi tempat persembunyian terbakar karena ada motor yang terkena tembakan dan terbakar dan untuk menghindari api, mereka bersembunyi di kamar mandi.

Menurut Kapolri, kepastian bahwa salah satu jenazah yang tewas dalam penyergapan tersebut adalah Noordin M Top diperoleh setelah polisi melihat kecocokan antara data sidik jari Noordin yang dimiliki Polri dengan sidik jari salah satu jenazah.

"Sidik jari Noordin diperoleh dari Kepolisian Diraja Malaysia dicocokkan dengan sidik jari jenazah dan ternyata ada 14 titik kesamaan baik jari kanan maupun kiri," katanya.

Kapolri menjelaskan pula bahwa selain menembak mati Noordin, dalam insiden tersebut, polisi juga menembak mati tiga tersangka lain yakni Bagus Budi Pranoto alias Urwah, Hadi Susilo, dan Aryo Sudarso alias Aji.

Tewasnya Noordin M Top menyusul kematian rekannya sesama gembong teroris yang juga berasal dari Malaysia yakni Dr Azahari yang terkenal sebagai pakar merakit bom. Dr Azahari tewas dalam penggrebekan di Malang, Jawa Timur, pada 9 November2005.

Noordin M Top (41) merupakan warga negara Malaysia yang lahir di Kluang Johor, pada 11 Agustus 1968. Noordin selama masuk DPO tetap dapat merekrut kader yang dinilai mampu untuk melakukan bom bunuh diri.

Namun, proses penyergapan terhadap gembong terorisme tersebut, mendapat catatan dari Agung Purno Sarjono, kakak kandung Maruto (sempat disebut-sebut menjadi korban penggerebekan serta masuk dalam DPO, red.)

Agung meminta Polri dalam hal ini Densus 88 dapat bekerja lebih profesional dan lebih mengedepankan sisi kemanusiaan.

"Catatan untuk Kapolri dalam hal ini Densus 88, ke depan dalam penangkapan harus lebih profesional dan lebih mengedepankan kemanusiaan," katanya.



Tetap Waspada

Pengamat hukum Universitas Diponegoro, Arif Hidayat menilai keberhasilan Polri patut diacungi jempol tapi tentu seluruh pihak tetap harus selalu waspada.

"Untuk sementara kita boleh bernafas lega karena Noordin telah mampu dienyahkan. Akan tetapi masyarakat perlu waspada dengan orang asing yang masuk wilayahnya," katanya.

Ketua RT, ketua RW, serta seluruh pihak tidak hanya Polri harus waspada. Tiarapnya gembong teroris Noordin M Top tetap harus diwaspadai masih adanya kelompok lain yang merupakan binaan dari Noordin M Top.

"Tetap harus waspada dan tidak boleh kendur untuk waspada, jangan sampai terulang kembali. Itu dari aspek keamanan," tegasnya.

Jangka panjang agar masyarakat memiliki imun terhadap pengaruh teroris atau menjadi teroris, Arif menilai, diperlukan pendekatan integral, persuasif, holistik, dan komprehensif, tidak hanya dari sisi hukum dan keamanan.

"Noordin sudah meninggal, tetapi Noordin punya murid dan kelompok binaan. Oleh karena itu diperlukan adanya upaya penangkal dari lapisan masyarakat," katanya.

Masyarakat harus dibuat agar mempunyai daya tangkal sendiri agar ajaran atau paham yang bersifat ekstrem dan mengarah terorisme tidak muncul.

Pekerjaan rumah untuk menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tetap tidak pernah dapat diselesaikan.masyarakat untuk selalu mengamankan bangsa Indonesia terbebas dari terorisme

Tidak hanya tugas Polri, tetapi seperti tokoh agama, guru, pejabat pemerintahan, dan seluruh lapisan masyarakat memiliki tugas penting menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia.(*)

Oleh Nur Istibsaroh
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009