Jakarta (ANTARA) - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo meminta penegak hukum mengedepankan pendekatan persuasif, humanis, dan strategis dalam menyelesaikan berbagai dugaan diskriminasi hukum terhadap tujuh orang pemuda Papua yang didakwa 5-17 tahun di Pengadilan Negeri Balikpapan, Kalimantan Timur, atas dugaan makar dalam aksi demonstrasi anti rasisme pada Agustus 2019 lalu.

Langkah itu agar tidak memicu timbulnya konflik lanjutan yang bisa menimbulkan gejolak, kata Bamsoet saat menjadi pembicara kunci dalam dialog virtual bertajuk "Rasisme Vs Makar", di Jakarta, Sabtu. 

"MPR RI terus terlibat membantu saudara-saudara kita yang menyuarakan keadilan sosial terhadap Papua agar tidak mendapatkan diskriminasi hukum. Menyuarakan keadilan tidak sama dengan makar ataupun tindakan kriminal," kata Bamsoet dalam keterangannya.

Bamsoet menjelaskan, langkah MPR RI menyuarakan keadilan terhadap Papua melalui MPR RI FOR PAPUA yang diketuai Yorrys Raweyai, telah mengunjungi Surya Anta dan lima mahasiswa Papua yang ditahan di Mako Brimob pada November 2019.

Baca juga: Tujuh tersangka makar Jayapura tetap disidang di Balikpapan
Baca juga: Proses persidangan tujuh anggota KNPB dipindahkan ke Kaltim
Baca juga: Suryanta cs didakwa dengan pasal makar atau permufakatan jahat


Dia bersyukur berkat kerja keras semua pihak, keenam orang tersebut yaitu Surya Anta Ginting, Anes Tabuni alias Dano Anes Tabuni, Charles Kossay, Ambrosius Mulait, dan Arina Elopere alias Wenebita Gwijangge, telah dibebaskan pada Mei 2020.

"Saya dukung jika suatu saat Kapolri menambah satu bintang lagi di pundak Paulus agar ada kebanggaan, ada putra Papua jenderal bintang tiga," ujarnya.

Dia juga menyampaikan apresiasi kepada Kapolda Papua Paulus waterpaw yang juga putra daerah atas kerja keras tanpa kenal lelah dalam menjaga situasi Papua, sehingga tetap konsusif.

Bamsoet menjelaskan, tahun lalu pernah terjadi insiden di asrama Papua di Surabaya yang berawal dari kesalahpahaman dugaan perusakan bendera merah putih. Namun menurut dia, karena tidak dikelola dengan baik, insiden tersebut malah memicu timbulnya konflik yang berujung pada kasus tindakan ujaran rasisme terhadap mahasiswa Papua.

Baca juga: Suryanta ajukan eksepsi
Baca juga: Empat mahasiswa terdakwa makar disidangkan Pengadilan Negeri Sorong


Mantan Ketua DPR RI itu berharap agar proses peradilan berjalan transparan dari hulu ke hilir. Prinsip penegakan hukum yang tidak bertentangan dengan hukum itu sendiri harus berjalan, due process of law, menegaskan prinsip legalitas hukum, termasuk di dalamnya adalah adanya jaminan perlindungan hak-hak hukum setiap warga negara.

"Selain itu juga dalam kasus makar, perlu kehati-hatian. Diperlukan pikiran yang terbuka sehingga dapat melihat segala persoalan dari berbagai sudut pandang, sehingga melahirkan putusan yang benar-benar memenuhi rasa keadilan masyarakat," katanya.

Bamsoet mengatakan kehadiran MPR FOR PAPUA diharapkan menjadi generator membangun dialog yang lebih produktif dalam penyelesaian berbagai persoalan di tanah Papua sehingga bumi Cenderawasih dengan kekayaan alam dan keragaman budaya ibarat permata khatulistiwa, dapat terus menjadi bagian dari keindahan Indonesia.

"Indonesia tanpa Papua bukanlah Indonesia. Menjaga kedamaian Papua adalah bagian tak terpisahkan dari upaya menyejahterakan rakyatnya. Indonesia tanpa Papua, bukanlah Indonesia," katanya.

Dalam diskusi tersebut juga diikuti anggota MPR RI FOR PAPUA antara lain Yorrys Raweyai, Filep Wamafma, Robert Kardinal, dan Willem Wandik.

Selain itu juga hadir Kapolda Papua Irjen Pol Paulus Waterpauw, Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Cenderawasih Elvira Rumkabu, Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) Latifah Anum Siregar, dan praktisi hukum Piter Ell.

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2020