Dibandingkan dengan COVID-19, tuberkulosis memerlukan pengobatan yang lebih lama
Jakarta (ANTARA) - Pakar epidemiologi dan informatika penyakit menular Dewi Nur Aisyah mengatakan data mengenai COVID-19 sangat dinamis, berbeda dengan data penyakit lain seperti hipertensi atau diabetes melitus.

"Bicara angka, misalnya pada penyakit hipertensi atau diabetes, jumlahnya akan terus bertambah yang kemudian kita sebut prevalensi ketika penyakit ada pada diri seseorang seumur hidupnya," kata Dewi dalam bincang-bincang Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 yang diikuti melalui akun Youtube BNPB Indonesia di Jakarta, Senin.

Baca juga: Epidemiolog: Lihat data positif COVID-19 dengan jumlah spesimen

Anggota Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 itu mengatakan terdapat beberapa penyakit yang hanya menginfeksi seseorang dalam jangka waktu yang pendek seperti influenza dan COVID-19.

Dewi mengatakan, seseorang berstatus orang dalam pemantauan bisa jadi positif COVID-19 sehingga harus dirawat atau melakukan isolasi mandiri.

Baca juga: Epidemiolog nilai Kota Bandung belum layak terapkan new normal

Dua minggu kemudian setelah dilakukan tes usap dan hasilnya negatif, kemudian dua minggu berikutnya diperiksa lagi dan hasilnya kembali negatif, maka dia telah sembuh dari COVID-19.

Karena itu, data COVID-19 akan sangat berbeda dengan data penyakit kronis yang biasanya tidak ada data tentang pasien yang sembuh.

Baca juga: KPAI: Libatkan IDAI dan epidemiolog sebelum izinkan sekolah dibuka

"Begitu pula bila dibandingkan dengan penyakit lain, misalnya tuberkulosis. Dibandingkan dengan COVID-19, tuberkulosis memerlukan pengobatan yang lebih lama, tergantung kondisi pasien," tuturnya.

Dewi mengatakan COVID-19 mirip dengan flu yang relatif lebih cepat sembuh dalam waktu 14 hari. Karena itu, seseorang dengan status positif COVID-19 harus selalu dipantau hingga dia dipastikan sembuh.

Baca juga: Epidemiolog Unpad ingatkan bahaya penyebaran COVID-19 di pusat niaga

"Saat ini, angka kesembuhan COVID-19 di Indonesia semakin meningkat dari hari ke hari. Memang di awal angka meninggal dunia terkesan tinggi bila dibandingkan jumlah kasus. Namun, itu karena pengaruh jumlah spesimen yang diperiksa yang masih sedikit," katanya.

Berdasarkan hasil analisis terhadap sejumlah kasus, pasien COVID-19 yang memiliki fatalitas tinggi hingga meninggal dunia biasanya karena memiliki komorbit atau penyakit penyerta.

"Misalnya penyakit ginjal, dari hasil analisis diketahui berisiko tertular COVID-19 dengan fatalitas tinggi. Begitu juga seseorang yang memiliki imunitas rendah, misalnya karena HIV, lupus, dan lain-lain," jelasnya. 

Baca juga: Seorang warga di Batam terinfeksi kembali COVID-19

Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2020