Larangan Komunisme serta Pancasila yang bukan Trisila/Ekasila itu seharusnya tidak hanya ditempelkan ke dalam konsideran tetapi juga benar-benar tergambar dalam norma batang tubuh RUU itu
Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) mengatakan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI harus memperhatikan suara berbagai kelompok masyarakat yang mengkritisi dan bahkan menolak Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP).

Karena itu menurut dia, kalau RUU HIP itu tetap akan dibahas maka perlu ada perombakan yang mendasar dalam batang tubuh maupun naskah akademiknya.

"Larangan Komunisme serta Pancasila yang bukan Trisila/Ekasila itu seharusnya tidak hanya ditempelkan ke dalam konsideran tetapi juga benar-benar tergambar dalam norma batang tubuh RUU itu," kata HNW dalam keterangannya di Jakarta, Senin.

Menurut HNW, hal itu sejalan dengan penolakan atau kritik Majelis Ulama Indonesia (MUI), Purnawirawan TNI/Polri dan berbagai Ormas atau kelompok-kelompok masyarakat yang menolak RUU HIP karena tidak dicantumkannya sejak awal TAP MPRS no XXV/1966.

Dia mengatakan TAP MPRS itu masih berlaku, relevan dan diyakini akan membentengi Pancasila dari ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan sudah 2 kali melakukan pemberontakan terhadap negara Indonesia serta adanya pengaburan dengan penyebutan Pancasila yang menjadi Trisila dan Ekasila.

Baca juga: MPR: Perlu UU lindungi Pancasila dari ideologi bangsa lain

Selain itu menurut dia, catatan kritis lainnya yang menilai bahwa RUU HIP seperti itu justru menurunkan Pancasila yang sebenarnya, yaitu Pancasila 18/8/1945 yang ada dalam Pembukaan UUDNRI 1945 sehingga hal itu semua penting didengarkan dan dipertimbangkan oleh Baleg DPR RI.

Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengatakan ketika FPDIP sebagai pengusul awal RUU HIP berubah sikap dengan menerima TAP MPRS XXV/1966 dan mengusulkan ideologi-ideologi lainnya serta penghapusan pasal 7 soal Trisila dan Ekasila, maka rasionalnya naskah akademik dan draf RUU ini juga perlu dibuat ulang dan diubah secara mendasar.

"Karena adanya perubahan yang mendasar pada konsideransnya, tentunya juga berimplikasi kepada landasan yuridis dan landasan sosiologis akibat reaksi penolakan dari banyak pihak, maka sebaiknya RUU HIP ini ditarik terlebih dahulu oleh Baleg dan tidak dilanjutkan pembahasannya. Hal itu agar disiapkan naskah akademik dan diperbaiki kontennya sesuai dengan kebenaran sejarah dan sesuai dengan kritik dan saran dari rakyat, pakar, urnawirawan TNI/Polri, dan ormas," tuturnya.

Dia menilai dengan sikap akhir PDIP setuju dimasukkannya TAP MPRS No. XXV/1966 terkait PKI sebagai Partai terlarang, dan larangan penyebaran dan pengajaran komunisme ke dalam konsideran mengingat RUU HIP, maka semua fraksi di DPR secara terbuka sepakat untuk masih tetap berlakunya ketentuan hukum bahwa PKI adalah partai terlarang dan juga larangan penyebaran dan pengajaran komunisme, marxisme dan leninisme.

"Setelah sikap PDIP menerima masuknya TAP MPRS No. XXV/1966 dalam konsideran RUU HIP, maka tidak ada lagi Fraksi di DPR yang menolak dimasukkannya TAP MPRS No. XXV/1966 ke dalam RUU HIP," ujarnya.

Baca juga: LaNyalla: Mayoritas senator tolak RUU HIP

Namun menurut dia, publik sudah menyikapi sangat kritis RUU HIP, bukan lagi hanya soal tidak dicantumkannya sejak awal TAP MPRS No. XXV/1966, juga “kecolongan” penyebutan trisila dan ekasila, tetapi masalah-masalah dalam RUU HIP yang tersebar di beberapa pasal, seperti yang ada di Pasal 4, 5, 6 dan 8 RUU HIP.

HNW menjelaskan dengan mempertimbangkan kondisi sosial politik dan penolakan masyarakat, saat Baleg merevisi naskah akademik tersebut maka pengusul dari Baleg juga dapat mempertimbangkan ulang apakah RUU HIP memang perlu dipaksakan untuk dilanjutkan dibahas dan disahkan, atau malah dihentikan saja.

"Karena penjabaran dan haluan ideologi Pancasila sudah disepakati dan itu ada dalam Pembukaan UUD dan dalam Bab/pasal/ayat2 UUDNRI 1945. Ia mengingatkan ada problem ketatanegaraan apabila RUU HIP ini dipaksakan untuk dilanjutkan dan disahkan," ujarnya.

HNW menilai, Pancasila adalah norma dasar yang dimuat dalam Pembukaan UUD 1945, nilainya sebagai norma dasar memang bersifat umum tapi yang disepakati oleh para "Founding Fathers" sehingga jangan sampai Pancasila "downgrade" melalui UU kontroversial seperti RUU HIP.

Namun menurut dia, apabila mau dibuat penjabaran lagi maka seharusnya dilakukan di Batang Tubuh UUD 1945 melalui amandemen lagi terhadap UUD, bukan diatur dalam UU apalagi yang kontroversial seperti RUU HIP yang malah menambah
kegaduhan publik.

"Saat Rakyat dan Pemerintah sangat direpotkan dengan bencana kesehatan nasional yaitu COVID-19 maka semestinya yang hadir adalah ketentuan UU yang kuatkan pengamalan Pancasila, untuk selamatkan bangsa dan negara, agar berkontribusi atasi COVID-19 dan dampak-dampaknya," katanya.

Baca juga: Muhammadiyah: RUU HIP bertentangan dengan UUD 1945

Baca juga: Anggota DPR minta RUU HIP dikoreksi ulang

Baca juga: PDIP setuju hapus pasal kristalisasi Pancasila dalam RUU HIP

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2020