Semua mengikut posisi di mana posisi terdakwa tinggal, kediaman akhir, ditemukan dan ditahan
Balikpapan (ANTARA) - Rekan-rekan sesama jurnalis dan mahasiswa kembali menggelar aksi mendukung mantan Pemimpin Redaksi laman banjarhits.id, Diananta Putera Sumedi alias Nanta (36) yang sedang disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Kotabaru di Pulau Laut, Kalimantan Selatan, 300 km lebih timur Banjarmasin.

“Hari ini kami gelar aksi bisu, sebagai simbol pembungkaman terhadap pers yang terjadi pada kawan kami Diananta," ujar Donny, jurnalis di Banjarmasin dan anggota Koalisi untuk Masyarakat Adat dan Kebebasan Pers di lokasi aksi perempatan Kantor Pos Besar Banjarmasin, Rabu, didampingi Fariz Fadlllah dari Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Balikpapan.

Diananta yang memberitakan penggusuran lahan milik masyarakat adat di Desa Cantung Kiri di Kabupaten Kotabaru, justru kini menjadi pesakitan di PN Kotabaru.

Para mahasiswa dan jurnalis berdiri berjejer membentangkan spanduk bertuliskan "Bebaskan Diananta" seraya dikawal ketat aparat kepolisian dari Poltabes Banjarmasin.

Dalam sidang ketiga di PN Kotabaru, tim jaksa penuntut umum (JPU) yang diwakili jaksa muda Rizku Purbo Nugroho menjawab eksepsi yang disampaikan Tim Penasihat Hukum Nanta pada Senin (15/6) lalu.

JPU menganggap perusahaan pers atau profesi jurnalistik tidak kebal dari pidana apabila melanggar undang-undang. "Meskipun berprofesi sebagai jurnalis, dan kegiatan jurnalistik mendapatkan perlindungan hukum, namun tidak serta merta menjadi kebal hukum," kata jaksa Rizki tentang pemberitaan yang dibuat Nanta tentang penggusuran lahan masyarakat tersebut.

"Tidak ada yang bilang jurnalis kebal hukum," ujar Donny.

Menurutnya, orang yang bekerja sebagai jurnalis tetap bisa dihukum bila ia berbuat kriminal, seperti menipu atau memeras atau kejahatan lainnya.

"Tapi menulis berita, dengan mematuhi kode etik, hanya menyampaikan fakta, itu bukan kejahatan. Itulah yang dilakukan Nanta, itulah jurnalisme, dan itu dilindungi sepenuhnya oleh UU Pers Nomor 40/1999," ujar Donny pula.

Kepatuhan pada kode etik itulah yang membedakan berita dengan kabar burung. Berita yang memiliki sumber jelas dengan berita bohong atau hoaks, katanya lagi.

Apalagi beritanya disampaikan pada saluran yang sah. Berita "Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel" yang jadi pangkal masalah terbit di laman kumparan.com/banjarhits.id. Media kumparan.com bermitra dengan banjarhits.id, dan kumparan adalah perusahaan berbadan hukum yang sah sesuai undang-undang yang berlaku di Republik Indonesia.

"Lagi pula masalah ini sudah selesai di Dewan Pers, sebagai lembaga yang berwenang menangani sengketa pers. Keberatan kepada pemberitaan dilayani media dengan hak jawab, atau kalau perlu hak koreksi," kata Donny lagi.

Kumparan.com/banjarhits.id sudah melayani hak jawab Sukirman, orang yang menyebutkan dirinya Ketua Majelis Umat Kepercayaan Kaharingan Indonesia (MUKKI) yang membantah apa yang ditulis Nanta sebagai ucapannya di dalam berita tersebut.

Jurnalisme adalah upaya yang dilakukan jurnalis untuk memenuhi hak-hak masyarakat akan informasi, yang pada gilirannya bisa digunakan masyarakat untuk meningkatkan harkat hidupnya, atau setidaknya sebagai pengetahuan, ataupun sekadar hiburan.

Memidanakan jurnalis, seperti perlakuan yang diterima Nanta sekarang, menurutnya lagi, selayaknya mengancam hak-hak masyarakat untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan.

M Arsyad, satu anggota Tim Kuasa Hukum Diananta kembali menegaskan bahwa sekiranya harus juga diadili, maka Nanta mestinya disidangkan di Kabupaten Banjar, bukan di Kotabaru.

"Semua mengikut posisi di mana posisi terdakwa tinggal, kediaman akhir, ditemukan dan ditahan," ujar dia, merujuk pada pendapat ahli hukum pidana M Yahya terkait kewenangan mengadili disampaikan JPU yang berkeras PN Kotabaru berhak mengadili Nanta.

Kewenangan mengadili juga ada di PN Martapura, selain dari PN Banjarmasin, sebab perbuatan melawan hukum sebagaimana yang dituduhkan pada Diananta terjadi di Kabupaten Banjar (locus delicti). Berita yang menjadi perkara ditulis Nanta di rumahnya yang secara administrasi masuk dalam wilayah Kecamatan Gambut, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan.

Sebelumnya, Diananta mewawancarai Sukirman, orang yang kemudian melaporkannya sebab tak berkenan dengan berita yang ditulisnya, di Kantor Hukum Bujino A Salan di Jalan Jahri Saleh, Sungai Jingah, Banjarmasin.

Nanta menghubungi Kapolres Kotabaru AKBP Andi Adnan Syafruddin untuk perimbangan berita yang dibuatnya juga dari Banjarmasin, termasuk menghubungi Humas PT Jhonlin Agro Raya Andi Rudi.

Kotabaru sebagai wilayah hukum Pengadilan Negeri Kotabaru, dalam hal ini, hanyalah tempat berlangsungnya perisitiwa konflik lahan yang diberitakan Nanta dalam beritanya yang terbit pada laman kumparan.com/banjarhits.id, "Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel".

Bahkan, bila seandainya sampai harus memeriksa saksi, tempat tinggal para saksi pun tidak hanya dari Kotabaru, tapi juga ada dari Banjarmasin, bahkan Jakarta.

"Jadi kami teguh berpegang terhadap argumentasi hukum dalam eksepsi kami. Mudahan-mudahan hakim melihat nota pembelaan kami bahwa proses pengadilan tidak bisa diteruskan di Kotabaru," kata Hafiedz Halim, anggota Tim Hukum Nanta lainnya.

Baca juga: Jurnalis Kendari gelar unjukrasa di Polda Sultra


Kronologis Kasus

Nanta ditetapkan sebagai tersangka sebab beritanya yang berjudul "Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel". Konten ini kemudian diunggah melalui laman banjarhits.id, pada 9 November 2019 lalu.

Pengadu atas nama Sukirman dari Majelis Umat Kepercayaan Kaharingan Indonesia.

Sukirman menilai berita itu menimbulkan kebencian karena dianggapnya bermuatan sentimen kesukuan.

Pada saat yang sama masalah ini juga telah dibawa ke Dewan Pers. Diananta dan Sukirman datang ke Sekrerariat Dewan Pers di Jakarta, pada Kamis, 9 Januari 2020 lalu guna proses klarifikasi.

Dewan Pers kemudian mengeluarkan lembar Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) yang mewajibkan banjarhits selaku teradu melayani hak jawab dari pengadu dan minta maaf. PPR diterbitkan Dewan Pers pada 5 Februari 2020.

Merujuk kepada UU Nomor 40/1999 tentang Pers terkait penanganan sengketa pers, maka PPR tersebut sudah menyelesaikan semua masalah. Hak jawab pengadu sebagai kesempatan untuk menjelaskan duduk persoalan versi pengadu sudah diberikan. Media, yaitu banjarhits sudah pula meminta maaf dan menghapus berita yang dipersoalkan.

Namun demikian penyidikan polisi terus berlanjut dengan surat panggilan kedua dari Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Kalsel, pada tanggal 25 Februari 2020, hingga penahanan Nanta pada 4 Mei 2020. Polisi menjeratnya dengan Pasal 28 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang berisikan ancaman hukuman 6 tahun penjara.

Pada 24 Mei penahanan Nanta dipindahkan ke Kotabaru dan dititipkan di Polres Kotabaru hingga persidangan mulai masuk jadwal persidangan sejak 8 Juni 2020.
Baca juga: Dua wartawan Manokwari dianiaya massa

Pewarta: Novi Abdi
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2020