Pada era globalisasi dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, diplomasi tidak hanya menjadi domain para diplomat. Karena itu siapa saja yang turut menyelenggarakan diplomasi juga disebut ‘duta bangsa’, dan layak mendapat apresiasi. 

Berbeda dengan diplomat wakil resmi kita, mereka tidak memerlukan surat keputusan, SK atau besluit.

Maka, semua unsur bangsa: anggota parlemen, politisi, pengusaha, budayawan, rohaniwan, TKI, masyarakat Indonesia yang bermukim di suatu negara atau bahkan wisatawan kita yang sedang berkunjung ke luar negeri adalah ‘diplomat’, termasuk masyarakat setempat pencinta budaya Indonesia.  Bersama para diplomat mereka memainkan peranan tidak kalah penting dalam mempromosikan Indonesia di luar negeri.  

Diplomasi dalam konteks artikel ini adalah upaya bagaimana membuat negeri kita dikenal di dunia internasional dengan citra positif.  Tidak jarang, kegiatan dan aktifitas ‘para duta’ ini di tataran internasional dapat berujung pada kepentingan ekonomi: wisata, perdagangan dan investasi.  

Pada malam itu, 14 September 2009 yang lalu, 2 juru-masak Indonesia, Azis Wahyudin dan Muhammad Sidik, keduanya berasal dari hotel Hyatt Regency Bandung, 3 rohaniawan Katolik yang berasal dari Indonesia Timur yakni Vinsensius Adi Gunawan, Vinsensius Taji dan Alfred Adipati Manek, Ketua Dewan Kurator Museum Asia dan Pasifik Andrzej ‘Nusantara’ Wawryzniak yang pernah bermukim cukup lama di Jakarta, serta para pemain gamelan mantan penerima Dharmasiswa dari Warsaw Gamelan Group bersama pelatihnya, Sugijanto, menjadi pelaku diplomasi budaya.

‘Para duta’ itu menjadi aktor penting dalam acara pembukaan Indonesian Food Festival bertajuk “Taste Indonesia” di  Hotel Hyatt Regency Warsawa yang berlangsung 2 pekan.

Kita masih perlu mengukuhkan keberadaan makanan Indonesia di antara beragam makanan Asia lainnya seperti Jepang, China, Korea, India, Vietnam dan Thailand yang sudah lebih dahulu dikenal. Maklum, di seluruh Polandia memang baru terdapat 2 restoran Indonesia dengan cook Indonesia, yaitu “Galeria Bali” di Warsawa, dan “Warung Bali” di Poznan.

Maka, harapan saya melalui promosi boga akan terbuka kesempatan untuk hadirnya restoran-restoran baru makanan Indonesia di Polandia.

Diplomasi Total

Indonesia dikenal di Polandia sebagai negeri dengan keberagaman budaya: musik, tarian, ukiran, lukisan dari berbagai daerah.  Dalam 2 bulan terakhir saja, 6 kelompok seni dari Indonesia hadir dalam berbagai festival dan pertunjukan di puluhan kota di Polandia. Saat ini, sedang berlangsung festival film Indonesia di 10 kota-kota besar di Polandia.

Maka, malam itu menjadi istimewa.  Untuk pertama kalinya kami merepresentasikan keunikan dan keberagaman Indonesia melalui boga. Tentu, karena kehadiran Azis dan Sidik, sang duta bangsa.

Untuk menciptakan nuansa Indonesia, maka restoran di lantai dasar Hyatt itu dihias dengan dekorasi pernak-pernik etnis yang kental, termasuk becak Yogya.

Pada malam pembukaan yang dihadiri sejumlah tamu penting, seperti Kepala Kantor Kepresidenan/Mensesneg Mariusz Handzlik, Kepala Badan Promosi Investasi (PAIiIz) Sławomir Majman, Direktur Asia dan Pasifik Kemlu Dubes Krzysztof Szumski dan sejumlah duta besar dari negara sahabat.

Setelah berpidato, saya tampil bersama vocal group. Kami menampilkan lagu-lagu tradisional seperti Lisoi, Ayo Mama, Saputangan Bapucuk Ampat, dan lagu-lagu tradisional dari Sumatra Utara, Flores dan Papua, dengan diiringi gitar, organ dan alat-alat gamelan dan perkusi yang dimainkan oleh para mahasiswa Polandia, personil Warsaw Gamelan Group. Kami juga menampilkan tari-tarian tradisional dari Bali dan Betawi yang dibawakan dengan baik oleh Maria Szymanska, Iwona Czapla dan Roza Puzynowska.

Lengkap sudah suasana Indonesia mendukung makanan lezat Indonesia yang disajikan oleh Azis dan Sidik pada malam itu.

“Terima kasih Bapak Pohan, lagu-lagu rakyat yang dibawakan tadi telah menggugah ingatan saya kepada teman baik Alm. Gordon Tobing dengan Impola Group-nya”, ujar Andrzej Wawryzniak, Ketua Dewan Kurator Museum Asia dan Pasifik yang pernah bermukim cukup lama di Jakarta.

Saya selalu bercanda bila bertemu Bapak Andrzej di berbagai acara bahwa duta besar Indonesia yang permanen di Polandia adalah beliau, sedangkan saya dan dubes-dubes sebelumnya hanya temporer. Mengapa? Karena tokoh yang mengenal baik pemimpin-pemimpin Indonesia sejak zaman Bung Karno itu setiap tahunnya menyelenggarakan lusinan pameran etnografi, lukisan dan benda-benda budaya etnis di penjuru kota Polandia. Sebagai aktor budaya Indonesia, beliau menjadi aset penting dan layak disebut sebagai duta.

Tidak hanya Bapak Andrzej.  Para undangan seperti Mensesneg  Handzlik, Kepala Badan Promosi Investasi Majman, Dubes Szumski yang pernah bertugas di Indonesia, dan para duta besar lainnya berdiplomasi memuji permainan gitar saya.  Tetapi mereka lebih kagum kepada tiga pria dan seorang penyanyi wanitanya dan bertanya apakah mereka profesional yang didatangkan dari Indonesia.  

Saya membuka rahasia, dan mengatakan bahwa tiga pria itu, Vinsensius Adi Gunawan, Vinsensius Taji dan Alfred Adipati Manek, sehari-hariannya adalah rohaniwan Katolik. Di Polandia terdapat tujuh rohaniwan Katolik yang bertugas untuk pelayanan umat.  Sedangkan penyanyi wanita, Ny. Dyah Poerwonggo, adalah seorang isteri diplomat.  Vinsensius Adi Gunawan dan teman-temannya memang sering diminta tampil membawakan lagu-lagu Indonesia di gereja, di samping menjadi duta rohani, kata saya.

“Unik sekali, Indonesia negara berpenduduk muslim terbesar di dunia ‘mengekspor’ rohaniwan Katoliknya ke Polandia yang notabene adalah Negara Katolik”!, kata Mensesneg Handzlik sambil berdecak kagum.  Kekagumannya bertambah ketika saya selanjutnya menjelaskan bahwa para penari ayu itu adalah warganegara Polandia yang pernah belajar seni-budaya di Indonesia.

Maria Szymanska, Iwona Czapla dan Roza Puzynowska dengan dandanan kostum tradisional malam itu lebih menjadi orang Indonesia daripada Eropa.

Know How

Diplomasi lebih dari permainan kata-kata.  Ada substansi dan teknik di sana.  Demikian pula festival boga.  Kenapa?

Setiba di Warsawa beberapa hari sebelum festival, Aziz dan Sidik mengadakan teknis sambil tukar-menukar informasi mengenai dunia perdapuran dengan ibu-ibu Dharma Wanita Persatuan (DWP) KBRI Warsawa.  

“Kami menghargai kemauan mereka untuk belajar dengan kami para ibu-ibu, meskipun mereka lulusan sekolah boga”, demikian isteri saya, Ade Pohan, yang juga Ketua DWP.  

Menurutnya, pertemuan teknis itu penting untuk menjembatani gap, seperti dialami negara-negara lain yang sebelumnya menyelenggarakan berbagai festival makanan Asia di Polandia, antara suguhan dengan cita-rasa makanan lezat seperti aslinya di Indonesia. 

Faktor terpenting yang perlu diperhatikan adalah memilih bahan makanan yang dari berbagai jenis yang ada di pasar, atau bahkan mencari pengganti karena belum tentu semuanya tersedia di negara itu. 

Suhu udara dan alat yang digunakan memasak serta tahapan prosedur  pengolahannya juga harus disesuaikan.  Dia mencatat kekecewaan dalam beberapa kali menghadiri food festival makanan Asia dengan rasa yang ‘jauh’ dari harapan.  Malah, hal ini kontra-produktif dengan tujuan promosi karena banyak penggemar yang kecewa, ujar Ade Pohan.

Pengetahuan dan know how dalam urusan perdapuran selama puluhan tahun mendampingi suami bertugas di luar negeri adalah informasi yang sangat kaya dan krusial, katanya.

“Kami tidak hanya menginformasikan pilihan jenis bahan-makanan yang sangat beragam, bumbu dan takaran penggunaannya, agar sesuai dengan cita rasa dan lidah Eropa, tetapi juga toko di mana bahan-bahan itu dapat diperoleh," tambahnya.

Hasilnya lumayan. Setiap malam sedikitnya 40 kursi terisi, dan bahkan sering ruangan restauran yang terletak di lantai dasar itu kebanjiran tamu.

Kedua juru-masak, Azis dan Sidik puas.  Setiap malamnya mereka menyajikan berbagai makanan populer dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk berbagai jenis sup pembuka dan juadah jenis jajanan-pasar yang unik.

“Kami tidak menyangka, ternyata makanan favorit pengunjung adalah Soto Dangko, di samping kari kambing, soto ayam yang diberi santan sedikit”, demikian Azis bercerita.  

Para duta Indonesia itu juga berkesempatan mengunjungi bagian-bagian menarik di Warsawa, sambil berbelanja untuk mempersiapkan menu yang kian berganti setiap harinya.

Joseph Kral, GM Hyatt Regency puas dan mengharapkan festival serupa dapat diadakan pada tahun 2010 mendatang.

Pada tanggal 27 September 2009 kira-kira pukul 07.00 pagi Azis dan Sidik meninggalkan Warsawa menuju Beograd melanjutkan tugas dalam food festival di sana. Selamat jalan para Duta Bangsa! (***)

Oleh Oleh Hazairin Pohan, Dubes RI
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009