Oslo (ANTARA News/Reuters) - Presiden AS Barack Obama memperoleh Hadiah Nobel Perdamaian, Jumat, karena memberi dunia "harapan bagi masa depan yang lebih baik" dan perjuangannya demi perlucutan senjata.

Keputusan menganugerahkan salah satu penghargaan tertinggi dunia kepada seorang presiden yang baru saja bertugas kurang dari sembilan bulan dari masa jabatan pertamanya itu, yang belum mencetak sukses kebijakan luar negeri besar, sangat mengejutkan dan mengundang baik kritik maupun pujian.

Komite Nobel Norwegia memujui Obama atas "upaya-upayanya yang luar biasa dalam memperkuat diplomasi internasional dan kerjasama antar bangsa".

Warga Afro-Amerika pertama yang duduk di kursi jabatan tertinggi di negerinya itu telah menyeru disarmamenisasi (peniadaan senjata nuklir) dan berupaya untuk memulai kembali perkuatan proses perdamaian Timur Tengah sejak naik ke tampuk kekuasaan pada Januari lalu.

"Jarang sekali ada orang yang menyamai (kemampuan) Obama dalam mencuri perhatian dunia sekaligus memberi manusia harapan untuk sebuah masa depan yang lebih baik," demikian Komite Nobel dalam satu kutipannya.

Dalam satu pidatonya di Praha, April lalu, Obama mengumumkan, "Saat ini juga, saya nyatakan dengan terang dan dengan keyakinan mendalam (mengenai) komitmen Amerika dalam menciptakan perdamaian dan keamanan dunia tanpa senjata nuklir."

Obama bukanlah presiden Amerika pertama yang menyampaikan tekad itu, namun dia mengakui hal itu mungkin tidak akan bisa dicapai di seumur hidupnya.

Dalam soal-soal mendesak lainnya, dia menghadapi keputusan sulit dalam menentukan masa depan perang di Afghanistan dan masih berusaha mencari jalan keluar dalam soal program nuklir Iran serta menyelenggarakan proses perdamaian Timur Tengah.

Menteri Luar Negeri Israel, Kamis kemarin, menegaskan bahwa tidak ada peluang untuk menciptakan kesepakatan damai sampai beberapa tahun lamanya.

Kepala juru runding damai Palestina, Saeb Erekat, menyambut penghargaan untuk Obama ini dan mengutarakan harapan bahwa "Obama akan bisa menciptakan perdamaian di Timur Tengah".

Sementara Mikhail Gorbachev, pemimpin terakhir Uni Soviet dan penerima Hadiah Nobel, berkata, "Saya senang. Apa yang dilakukan Obama selama masa kepresidenannya adalah sinyal besar, dia memberi harapan. Di masa-sama sulit seperti sekarang orang-orang yang mampu memikul tanggung jawab, memiliki visi, komitmen dan itikad politik, mesti didukung."

Namun sejumlah reaksi dari dunia Arab dan Muslim sangat kritis.

"Penghargaan Nobel Perdamaian untuk Obama menunjukkan anugerah itu politis, tidak didasari oleh prinsip-prinsip kredibilitas, nilai dan moral," kata pemimpin Jihad Islam, Khaled Al-Batsh.

"Mengapa Obama harus diberi anugerah perdamaian sementara negaranya sendiri memiliki arsenal nuklir terbesar di Bumi dan tentara-tentaranya terus menumpahkan darah orang-orang tak berdosa di Irak dan Afghanistan?"

Issam al-Khazraji, seorang buruh harian di Baghdad, berkata: "Dia tak layak dianugerahi penghargaan itu. Semua masalah (di Irak dan Afghanistan) belum dituntaskan. Orang 'yang mau mengubah' itu belum mengubah apapun."

Liaqat Baluch, pemimpin senior Jamaat-e-Islami yang merupakan partai relijius konservatif di Pakistan berkata, "Penghargaan itu lelucon. Mereka yang memberinya penghargaan itu sangat memalukan, karena dia belum berbuat apapun untuk perdamaian. Apa sih perubahan yang dia ciptakan di Irak, Timur Tengah atau Afghanistan?"

Obama adalah tokoh senior Partai Demokrat ketiga yang dianugeragi Nobel setelah mantan Wakil Presiden Al Gore yang menang pada 2007 bersama Panel Iklim PBB dan Jimmy Carter pada 2002.

Anugerah Nobel bernilai 10 juta crown Swedia (1,4 juta dolar AS) akan diberikan kepada para pemenang di Oslo pada 10 Desember. (*)

Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009