Jakarta, (ANTARA News) - Bagaimana membaca teks berhikmat dari seorang Diego Maradona? Publik Napoli melafalkannya sebagai "Il Nostro Dio" alias "Dewa Kami". Media massa global mengejanya sebagai pesona dramatis, ketika Timnas Argentina mengalahkan Peru 2-1 dalam putaran ke-17 kualifikasi Piala Dunia 2010 zona Conmebol, di Stadion Monumental, Sabtu (10/10) malam.

Yang memesona hati, dia mengunyah kemudian menelan teks kehidupan sebagai denyut anti fasisme. "Si Tangan Tuhan" (La Mano de Dios) menyusun atom kehidupan sebagai perjuangan menuju pembebasan dari aneka keterbelengguan.

Yang menyentuh hati, Maradona justru membongkar kuil sembahan dari mereka yang suka memuja perasaan (Kult des Gemuets), kemudian menyorongkan satu hukum baja sejarah manusia, yakni "survival of fittest".

Propaganda anti fasisme dari Maradona belum paripurna. Kalau gaya khas fasisme dalam mencapai tujuan politis mengandalkan partai massa, menonjolkan pemimpin karismatis, membenarkan penggunaan propaganda dan menutup mata terhadap pemakaian teror; maka Maradona menggabungkan sejumlah ide cemerlang dari kasanah pemikiran.

Maradona ingin tampil sebagai murid papan atas yang sedang menelaah teks-teks kunci dari sejumlah pemikir politik klasik. Dari filsuf Yunani Plato, Maradona menikmati pijar pemikiran mengenai kekuasaan elit.

Dari Rousseau, ia mencerap arti kehendak umum; dari Nietzsche, ia menimba makna pemujaan dari pesona kekuasaan; dan dari filsuf Henry Bergson, Maradona menerapkan "elan" sejarah dengan mendamaikan Tim Tango, bukan justru mengendalikan Tim Tango.

"Ya, saya kira kami akan terlempar dari Piala Dunia tapi saya lupa akan Palermo, Santo Palermo," kata Maradona. "Bermain dan mengakhiri laga ini seperti yang sudah-sudah," sarannya kepada pemain dalam laga tersebut. "Setelah itu keajaiban dari Santo Palermo terjadi, yang memberi kami hidup untuk lolos. Tuhan datang untuk mengunjungi stadion milik River (Plate)."

Maradona mengarungi pengalaman eksistensial manusia, takut gagal. Media massa memvonisnya sebagai sosok yang dilanda kebingungan. Ia membongkar pasang tim, dengan memanggil sejumlah pemain gaek seperti Martin Palermo dan Rolando Schiavi. Kontan, media melabelnya sebagai sosok yang sedang mengonsumsi pil nervous. Apa mau dikata?

Gugup bercampur gelisah dengan kombinasi harap-harap cemas menyentuh relung hati Maradona manakala mendapati bahwa Carlos Tevez, Sergio Aguero, Ezequiel Lavezzi, dan Diego Milito kenyataannya tidak eksplosif ketika berduet bareng Lionel Messi. Bagaimana Maradona menyiasatinya?

Ia tidak memuja perasaan dengan serta merta mengatakan, "Los Albicelestes" wajib memenangi laga. Ia tidak main mutlak-mutlakan, ia tidak menjejalkan kosa kata pikirannya dengan rumusan "pokoknya, saya pasti benar, anda keliru".

Maradona menyelami pengalaman mendasar dari sepakbola Argentina dan mengonfontasikannya dengan pengalaman hidupnya sendiri. Yang eksistensial berada di pusaran sentral pengakuan diri, bukan pemaafan diri.

Fatsun sepak bola Argentina yakni warna masyarakat yang berjuang dari belenggu kemiskinan. Maradona dan banyak pemain profesional bercita-cita menjadi "gentleman" (un cabellero). "Jadilah seperti Pele," kata seorang anggota masyarakat dari kasta borjuis Argentina. Maradona menyebut dirinya sebagi pemain terbaik dunia setelah legenda sepakbola Brasil itu.

Dalam laman FIFA, Maradona mengatakan, "Tahu apa alasannya? Saya berlaga di Eropa selama sepuluh tahun, sementara Pele tampil di Amerika Selatan. Ia memang memenangi Piala Dunia. Dan Eropa sesungguhnya punya makna istimewa. Kenyataannya, mereka tidak pernah melupakan dan meninggalkan saya," katanya.

Kalau disebut Maradona memainkan kartu anti-fasis, maka itu artinya ia mengalami dan mengamini bahwa kekerasan hanyalah naluri kegelapan. Kelembutan dan kecintaan akan sesama tampil sebagai jawaban atas pertanyaan, siapa diri kita sesungguhnya di sirkuit kehidupan. Monopoli kebenaran berbuah kesia-sian.

Pada Januari 1984, Maradona menerima serangan secara fisik dari Goicoechea saat berlaga di Barcelona. Engkelnya menerima tiga puluh jahitan yang mengakibatkan Maradona harus absen selama empat bulan.

Ketika pulang kampung ke Argentina, Maradona menerima cemooh dari publik sebagai "orang kaya baru" (OKB). "Saya tidak akan belajar apa-apa dari peristiwa itu," katanya ketika merespons fakta kekerasan. Ia ingin tampil sebagai sosok anti fasis!

Ketika berada dan bermain untuk Napoli, Maradona kerap mengulang kredo dengan mengucap, "Saya hanya ingin tampil sebagai idola anak-anak muda di sini." "Saya lahir, besar dan belajar banyak dari anak-anak muda Buenos Aires". Ia mencintai masa kanak-kanaknya dan ingin mengulang masa-masa indah sarat kedamaian dan ketulusan hati.

Begitu Martin Palermo menceploskan gol kemenangan di menit 90+3, Maradona girang. Dengan mengandalkan naluri bermain khas anak muda yang mabuk kepayang kemenangan, Maradona melakukan "sliding" di lapangan, kemudian memeluk erat Palermo. Skuad Argentina terbebas dari ancaman tersisih, terbawa gerbong lokomotif opsi untuk sampai ke Afrika Selatan.

Opsi paling efektif, menyikat tim tuan rumah Uruguay di laga penutup, Rabu (14/10) di Montevideo. Jika Argentina menangguk kemenangan, mereka akan lolos otomatis dan hasil imbang juga sudah memadai asalkan Ekuador tidak menang dengan skor lebih dari lima gol.

Jika Argentina bermain imbang dan Ekuador menang 5-0, Ekuador melenggang dan Argentina harus melalui "play off". Sementara jika Argentina kalah dan Ekuador menang, Argentina akan tersingkir dan Uruguay ke babak "paly off". Berpeluangkah pasukan Maradona, sesudah melewati drama "injury time"?

Maradona mengantongi jawabannya. Bukankah filsuf politik Niccolo Machiavelli menyatakan, biasanya orang-orang menilai sesuatu dan seseorang dengan mempercayai mata daripada tangan, karena melihat nyatanya mudah, ketimbang menyentuh, mengalami atau merabanya.

"Semua orang dapat melihat bagaimana engkau tampak tetapi kecil sekali jumlah orang yang memang merasa dengan sejati, siapa engkau sesungguhnya," kata Machiavelli. Dan Maradona mengamini pernyataan itu. Skuad Tango, skuad anti fasisme.(*)

Pewarta: Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2009