Jakarta (ANTARA News) - Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), Marius Widjajarta, mengatakan, Prita Mulyasari berhak mempidanakan Rumah Sakit (RS) Omni Internasional, jika pihak rumah sakit tidak memberikan hasil rekam medis pasiennya.

"Prita bisa memejahijaukan pihak rumah sakit baik secara pidana maupun perdata sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1999," kata Marius saat dihubungi di Jakarta, Selasa.

Marius menuturkan UU Nomor 8 Tahun 1999 berkaitan dengan perlindungan hak konsumen, artinya segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.

Marius menjelaskan status Prita sebagai konsumen yang berhak mendapatkan rekam medis dari hasil pemeriksaan kesehatannya, sedangkan RS Omni wajib menunjukkan rekam medis kepada pasiennya.

Aktivis perlindungan konsumen itu, mengungkapkan pihak rumah sakit juga harus memperlakukan atau melayani konsumen secara jujur, benar dan tidak diskriminatif, serta memberikan informasi jelas kepada konsumennya.

Prita berhak menuntut ganti rugi sebesar Rp200 juta atau ancaman hukuman penjara selama lima tahun, apabila rumah sakit swasta itu tidak memberikan informasi secara jelas sesuai UU Nomor 8 Tahun 1999.

Selain itu, Marius mengatakan pihak rumah sakit juga harus melaksanakan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 269/Menkes/Per/III/2008 tertanggal 20 Maret 2008, tentang Rekam Medis.

Terkait dengan kasus Prita yang didakwa menyebarkan keluhannya kepada temannya melalui surat elektronik (email) tentang pelayanan RS Omni, Marius menegaskan Prita bukanlah pelaku yang menyebarkan informasi tersebut, namun ada oknumnya.

"Memang keluhan itu disampaikan Prita, namun ada pelaku lain yang menyebarkan informasi tersebut," ujarnya seraya menambahkan seharusnya aparat penegak hukum bisa menangkap pelaku yang menyebarkan keluhan Prita itu.

Marius beralasan penyebaran informasi tentang citra negatif itu tidak diperbolehkan berdasarkan peraturan konsumen juga.

Disinggung mengenai putusan yang pantas terhadap Prita, Marius tidak bisa memprediksinya karena seluruh keputusan ada pada majelis hakim.

Sebelumnya, RS Omni melaporkan Prita Mulyasari kepada polisi terkait kasus pencemaran nama baik yang dikenakan Pasal 310 dan Pasal 311, kemudian berkas pemeriksaannya diserahkan ke kejaksaan.

Namun Kejaksaan Negeri (Kejari) Tangerang menambahkan dakwaannya kepada Prita dengan Pasal 27 dan 45 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dengan ancaman hukuman penjara maksimal enam tahun dan denda Rp1 miliar.

Pengadilan Negeri (PN) Tangerang sempat membatalkan seluruh dakwaan terhadap Prita Mulyasari melalui putusan sela pada 25 Juni 2009, dengan pertimbangan dakwaan jaksa kabur dan tidak jelas.

Namun kemudian, jaksa penuntut umum mengajukan banding atas putusan sela tersebut ke Pengadilan Tinggi (PT) Provinsi Banten. PT Banten mengabulkan upaya banding itu, dan memerintahkan agar PN Tangerang kembali menggelar sidangnya.

Pada sidang lanjutan, Rabu (14/10), PN Tangerang kembali akan menyidangkan perkara Prita dengan agenda keterangan saksi ahli dari pakar telematika, Roy Suryo, dan dr. Herkutanto untuk menjelaskan rekam medis yang dialami terdakwa selama dirawat di RS Omni.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009