Damaskus (ANTARA News/AFP) - Kelompok-kelompok Palestina yang bermarkas di Suriah yang mencakup gerakan Islamis Hamas menyatakan, Kamis, mereka tidak akan menandatangani sebuah perjanjian rekonsiliasi dengan Fatah kecuali jika teks itu mencakup ketentuan mengenai hak melawan pendudukan Israel.

Fatah sudah menyatakan mendukung perjanjian persatuan Palestina yang ditengahi Mesir itu dan menyerahkan sebuah salinan dokumen yang ditandatangani kepada para pemimpin Mesir.

Seorang jurubicara blok Palestina di Damaskus itu mengatakan, mereka tidak senang dengan perjanjian itu karena "tidak ada visi politik menyangkut konflik (dengan Israel) dan agresi terhadap rakyat kami".

"Kelompok-kelompok Palestina tidak akan menandatangani perjaniian tersebut... kecuali jika teks itu mencakup prinsip-prinsip dan hak Palestina, khususnya mengenai perlawanan terhadap pendudukan Zionis," kata Khaled Abdel Majid.

"Kami mendesak semua kelompok Palestina dan pribadi nasional untuk bertindak cepat dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjaga perjuangan Palestina dari bahaya yang mengancamnya, dan menekankan hak-hak historis bangsa kita," katanya.

Ia menambahkan, perjanjian yang diusulkan oleh Mesir itu seharusnya mencakup masalah "Yerusalem dan bahaya `yudaisasi` dan agresi tetap yang mengancam kota suci ini" serta "hak kembalinya pengungsi Palestina ke rumah-rumah mereka".

Kairo telah berbulan-bulan berusaha membujuk Fatah dan Hamas menandatangani sebuah peranjian persatuan nasional, namun kedua kubu Palestina yang bersaing itu berulang kali menunda penandatanganan tersebut.

Usulan terakhir perjanjian oleh Mesir itu akan membuka jalan bagi pemilihan umum Palestina pada musim panas yang akan datang.

Undang-undang Dasar Palestina menetapkan bahwa pemilihan umum baru harus diadakan setidaknya tiga bulan sebelum berakhirnya mandat parlemen yang bertugas, dan batas waktu itu jatuh pada 25 Oktober.

Alasan Hamas menjegal perjanjian tersebut juga antara lain karena keputusan kontroversial delegasi Palestina pada sidang Dewan Hak Asasi Manusia PBB untuk membatalkan dukungannya pekan lalu bagi pemungutan suara segera mengenai laporan yang memberatkan Israel dalam perang Gaza.

Hamas mengecam Presiden Palestina Mahmud Abbas yang juga pemimpin Fatah atas keputusan itu, dengan menuduhnya "mengkhianati" sekitar 1.400 korban Palestina dalam perang Gaza pada Desember-Januari antara Hamas dan Israel.

Mesir mengumumkan pekan lalu bahwa delegasi-delegasi Hamas dan Fatah akan datang ke Kairo untuk menandatangani perjanjian yang telah tertunda itu pada 25-26 Oktober.

Di Ramallah, pembantu senior Abbas, Yasser Abed Rabbo, mengatakan, Fatah menolak usulan penundaan tersebut dengan mengatakan, Hamas menggunakan laporan PBB yang disahkan oleh Hakim Afrika Selatan Richard Goldstone sebagai alasan.

"Kami menolak segala alasan dan dalih yang digunakan Hamas untuk membenarkan penundaan ini," katanya kepada wartawan.

Perang di dan sekitar Gaza meletus lagi setelah gencatan senjata enam bulan berakhir pada 19 Desember tahun lalu.

Israel membalas penembakan roket pejuang Palestina ke negara Yahudi tersebut dengan melancarkan gempuran udara besar-besaran dan serangan darat ke Gaza dalam perang tidak sebanding yang mendapat kecaman dan kutukan dari berbagai penjuru dunia.

Operasi "Cast Lead" Israel itu, yang menewaskan lebih dari 1.400 orang Palestina yang mencakup ratusan warga sipil dan menghancurkan sejumlah besar daerah di jalur pesisir tersebut, diklaim bertujuan mengakhiri penembakan roket dari Gaza.

Militer Israel menyatakan, lebih dari 200 roket dan bom ditembakkan dari Jalur Gaza ke Israel sejak berakhirnya ofensif 22 hari negara Yahudi itu terhadap Hamas yang menguasai Gaza, pada Desember dan Januari.

Kelompok Hamas menguasai Jalur Gaza pada Juni tahun 2007 setelah mengalahkan pasukan Fatah yang setia pada Presiden Palestina Mahmoud Abbas dalam pertempuran mematikan selama beberapa hari.

Sejak itu wilayah pesisir miskin tersebut dibloklade oleh Israel. Palestina pun menjadi dua wilayah kesatuan terpisah -- Jalur Gaza yang dikuasai Hamas dan Tepi Barat yang berada di bawah pemerintahan Abbas.

Uni Eropa, Israel dan AS memasukkan Hamas ke dalam daftar organisasi teroris.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009