Jakarta (ANTARA) - Pemerintah telah menyalurkan bantuan sosial (bansos) bagi masyarakat yang kondisi sosial ekonominya terdampak COVID-19 dengan jumlah yang lumayan besar dan beragam jenisnya, mulai dari bantuan langsung tunai (BLT), bantuan sembako, bantuan provinsi (sembako plus uang tunai), BLT Dana Desa, bantuan sembako dari kabupaten/kota dan lainnya.

Bantuan itu belum termasuk bantuan melalui Kementerian Sosial yang diberikan secara reguler setiap bulan, yakni Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT). Bantuan-bantuan tersebut berupa bahan pangan atau sembako dan uang tunai.

Persoalan muncul ketika mulai pendistribusian bantuan sosial kepada masyarakat terdampak. Hampir di semua daerah terjadi kekisruhan penyaluran bantuan sosial, lantaran penyaluran sebagian bantuan itu kurang tepat sasaran.

Bantuan yang tersalur ada sebagian jatuh ke masyarakat yang secara sosial ekonomi tergolong mampu, ada bantuan yang dobel (BLT Kemensos dapat dan Banprov juga dapat), bantuan ke orang yang sudah meninggal beberapa tahun silam dan bantuan kepada orang yang tidak jelas keberadaannya.

Kekisruhan penyaluran bantuan sosial tersebut umumnya terjadi pada masyarakat yang terdampak COVID-19 atau masyarakat yang berpotensi jatuh miskin atau miskin baru akibat pandemi virus mematikan tersebut.

Berbeda halnya dengan masyarakat penerima bantuan PKH atau BPNT yang memang sudah tercatat dalam data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS). Mereka penerima PKH sudah tercatat sebagai keluarga miskin atau miskin lama.

Menteri Sosial Juliari Batubara mengakui adanya ketidaksinkronan data penerima bantuan sosial tunai yang sempat terjadi pada penyaluran tahap pertama. Pada awal proses pengumpulan data keluarga penerima manfaat (KPM) memang ada ketidakcocokan data yang diajukan oleh desa/kelurahan kepada pemda, dengan data yang diajukan pemda kepada pemerintah pusat.

Sementara itu Bupati Bogor Ade Yasin mengatakan data yang dipakai pemerintah untuk penerima bansos tidak mutakhir, di sisi lain angka kemiskinan selalu berubah-ubah.

Menurut dia pemerintah menggunakan data lama yang dari TKSK (Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan) dan tidak ada verifikasi ulang, sehingga ada yang salah sasaran dan banyak yang sudah meninggal.

Ketidakakuratan data penerima bansos seharusnya tidak terjadi jika memang pembaruan data secara reguler benar-benar dilaksanakan. Kementerian Sosial hanya sebagai pihak pengguna data, sementara validasi dan verifikasi data menjadi ranah atau kewenangan pemerintah daerah.


Momentum Perbaikan Data

Pendataan masyarakat yang terdampak COVID-19 yang berpotensi menjadi miskin dan menjadi miskin baru agak lebih rumit ketimbang pembaharuan data DTKS. Pasalnya semua orang pasti terdampak dan sudah pasti ada penurunan kualitas hidup dan pendapatan. Karena itu harus ada kriteria-kriteria atau syarat tertentu perlu dijadikan patokan untuk menggolongkan mereka menjadi miskin baru dan berpotensi menjadi miskin.

Hal ini juga untuk menentukan kebijakan pemerintah untuk mengukur seberapa besar mereka mendapat bantuan dan seberapa lama mereka harus dibantu. Karena tidak mungkin pula pemerintah harus membantu mereka tanpa ada alat ukur yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan.

Persoalan data penerima bansos yang tidak sinkron dan tidak akurat ini mendapat respons dan perhatian pemerintah untuk segera memperbaikinya.

Wakil Presiden Ma'ruf Amin menginstruksikan jajaran menteri terkait untuk memperbaiki pengelolaan data perlindungan sosial secara nasional atau DTKS sebagai bagian perumusan program sosial yang tepat bagi masyarakat.

"Data perlindungan sosial ini merupakan data yang sangat berharga bagi suatu negara. Karena itu perlu tata kelola pengawasan yang baik. Saya melihat perlu adanya validasi," kata Wapres Ma'ruf Amin saat memimpin rapat terbatas tentang konsolidasi data kemiskinan di Jakarta, Kamis (25/6/2020).

Wapres menilai pemutakhiran DTKS adalah penting sebagai salah satu acuan pemerintah untuk menetapkan kebijakan yang tepat guna dan tepat manfaat.

"Pemutakhiran secara nasional ini belum dilakukan sejak pencacahan yang dilakukan BPS Tahun 2015. Oleh karena itu saya minta Menko PMK, Kepala Bappenas dan para menteri terkait untuk memikirkannya, melakukan kajian tentang hal ini dan dilakukan lebih cepat," kata Wapres Ma'ruf selaku Ketua Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K).

Pemutakhiran data terpadu tersebut dapat dilakukan dengan verifikasi faktual ke lapangan secara nasional, termasuk juga lewat konsultan publik hingga di tingkat desa dan kelurahan.

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengatakan selama masa pandemi COVID-19 ini diharapkan menjadi momentum untuk memperbaiki Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).

Muhadjir menyebut masih banyak nomor induk kependudukan (NIK) yang masih belum sinkron, jumlahnya sekitar 20 juta nama yang belum sinkron dengan NIK yang nanti akan dijadikan sasaran untuk penyempurnaan dari DTKS.

Selain itu Menko PMK juga akan merapikan adanya data yang berstatus inclusion error dan exclusion error, yaitu orang miskin yang belum tercatat akan dimasukkan, tetapi juga ada yang tidak miskin, namun selama ini menerima DTKS akibat perubahan status sosialnya nanti juga akan dikeluarkan.


Libatkan Penuh Pemerintahan Desa

Validasi dan verifikasi data penerima bansos reguler maupun nonreguler harus dilakukan dari tingkat paling bawah yakni di lingkup pemerintahan desa yang membawahi RT dan RW. Dengan kata lain pembaharuan data itu harus berangkat dari sana jika ingin menghasilkan data yang kredibel dan akuntabel.

Pembaharuan data yang dimulai dari tingkat bawah akan menghasilkan data yang lebih tajam dan tepat guna serta tepat sasaran sebagaimana yang diinginkan Wapres Ma'ruf Amin.

Pemerintahan desa/kelurahan dengan aparatur RT dan RW yang di bawahnya akan lebih tahu persis mengenai status sosial ekonomi warganya maupun perubahan atau perkembangan status sosal ekonominya. Para RT dan RW lebih tahu siapa-siapa saja warganya yang memang masih layak mendapat bantuan dan siapa saja yang sudah tidak layak dibantu (sudah tidak miskin lagi).

Data penerima manfaat program bantuan sosial reguler semacam PKH (Program Keluarga Harapan) memang sudah selayaknya diperbaharui. Ada yang harus dimaksukan sebagai penerima bantuan dan ada yang harus dikeluarkan lantaran sudah tidak masuk kriteria miskin atau misalnya sudah tidak ada tannggungan beban anak sekolah.

Sementara data penerima bantuan nonreguler yakni bantuan bagi masyarakat yang terdampak COVID-19 juga perlu diperbaharui, lantaran ada bantuan yang tidak tepat sasaran, tidak jelas dan diketahui keberadaan penerima dan ada juga yang sudah meninggal beberapa tahun silam tapi datanya ada dalam penerima bantuan.

Pemerintahan desa/kelurahan dengan aparatur RT dan RW nya sudah mengantongi data-data yang tidak tepat atau salah sasaran itu. Mereka juga tahu persis warganya yang saat ini jatuh miskin dan berpotensi menjadi miskin, yang terkena PHK dan yang pendapatannya turun lantaran usahanya mandeg atau bahkan bankrut.

Data-data kemiskinan yang dimiliki Kementerian Sosial sudah selayaknya diperbaharui lagi, dan tidak bisa lagi dipakai sebagai acuan penyaluran bansos. Terlebih setelah adanya pandemi COVID-19 ini, maka data acuan penyaluran bansos harus diperbaharui lagi, dikupas tuntas mulai dari tingkat bawah (RT/RW).

Baca juga: Penyaluran bansos terapkan data terintegrasi

Pemerintah Desa sebagai garda terdepan Pemerintah Pusat dalam melayani langsung masyarakat di tingkat bawah mempunyai peran strategis dalam menyusun pembaharuan data kemiskinan. Merekalah dengan aparatur RT/RW nya yang tahu persis titik-titik kemiskinan itu berada. Jadi sudah seharusnya mereka Pemerintahan Desa dilibatkan secara penuh agar menghasilkan data kemiskinan yang kredibel dan akuntabel.

Data-data kemiskinan yang dikumpulkan dari tingkat bawah (RT) akan dibahas dan ditetapkan dalam musyawarah desa untuk djadikan ajuan data terbaru. Dalam musyawarah desa ini nantinya hadir kepala desa, badan permusyawaratan desa (BPD), kepala dusun, para ketua RW, bhabinkamtibmas dan babinsa.


Perkuat Koordinasi dan Anggaran

Pembaharuan data kemiskinan agar tepat guna dan tepat sasaran seperti yang diinginkan Wapres Ma'ruf Amin membutuhkan penguatan koordinasi dan kejelasan kewenangan antar stakeholde atau pemangku kepentingan.

Baca juga: Kemensos masih tunggu data penerima bansos usulan lintas kementerian

Dalam hal ini pemangku kepentingannya akan melibatkan Menko PMK, Kementerian Sosial, Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan, Kementerian dalam Negeri, Bappenas dan Pemerintah Derah serta Kementerian Desa.

Penguatan koordinasi dan kejelasan kewenangan ini penting untuk menghindari saling salahkan dan saling tunjuk antar lembaga, dan diharapkan dalam penyaluran bansos lebih efisien dan efektif, tidak menghamburkan uang negara dan meminimalisir penyimpangan.

Baca juga: Menko PMK: Akan ada perbaikan 20 juta nama dalam data terpadu

Kementerian Sosial dalam hal ini hanya sebagai pelaksana penyaluran bansos dan pengguna data kemiskinan. Sementara kewenangan validasi dan verifikasi data ada di pemerintah daerah yang dalam hal ini di bawah Kemendagri.

Pandemi Covid-19 ini yang kita belum tahu kapan berakhirnya, juga menghendaki adanya perumusan kembali indikator- indikator kemiskinan dan kesejahteraan, perumusan lagi kriteria-kriteraia siapa saja yang berhak dan layak mendapatkan penyaluran bansos.

Terakhir penguatan anggaran dalam pembaharuan data-data kemiskinan adalah hal yang penting. Tak mungkin akan terlaksana dengan baik atau menghasilkan data yang tepat dan akurat tanpa adanya dana untuk melakukan itu.

Dibutuhkan tenaga dan dana untuk melakuan survei faktual ke lapangan secara nasional dari sekian juta orang yang tersebar di ribuan desa/kelurahan. Pemerintahan Desa sebagai garda terdepan pelayanan masyarakat punya kapasitas dan mampu melaksanakan itu.

Sebagai informasi total anggaran penangan COVID-19 mencapai Rp695,2 triliun, terdiri dari kesehatan Rp87,55 triliun, perlindungan sosial Rp203,9 triliun, insentif usaha Rp120,6 triliun, UMKM Rp123,46 triliun, pembiayaan korporasi Rp53,57 triliun, serta sektoral Kementerian/Lembaga dan Pemda Rp106,11 triliun.

Sementera realisasi penggunaan anggaran itu untuk sektor kesehatan hanya 4,68 persen (sangat kecil), perlindungan sosial 34,06 persen, sektoral dan Pemda hanya 4 persen.

Data realisasi anggaran COVID-19 yang dirilis dan diumumkan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Senin (29/6) ini menunjukan betapa masih kecilnya realisasi anggaran untuk perlindungan sosial dan kesehatan.

Artinya masih cukup besar dana perlindungan sosial yang masih ada baik di Pemerintah Pusat (Kemensos), maupun Pemerintah Daerah dan kementerian/lembaga lain. Jangan sampai dana yang begitu besar ini untuk perlindungan masyarakat terhambur tidak tepat sasaran hanya karena masalah data yang tidak akurat.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020