Jakarta (ANTARA News) - Mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) yang sekarang menjabat sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Anwar Nasution, menjelaskan bahwa ia tidak lagi menjabat deputi gubernur serior BI ketika  Bank Century terbentuk.

Di Jakarta Senin, ia mengatakan, pemberian ijin merger BI kepada Bank Pikko, Bank Danpac ke dalam Bank CIC pada 6 Desember 2009 atau enam bulan setelah dirinya selesai bertugas di Bank Indonesia, sehingga dirinya tidak dalam posisi pengambil keputusan pembentukan Bank Century tersebut.

Selain itu, Anwar juga membantah dirinya memperkenalkan MR Rafta sebagai calon investor bagi bank merger untuk Bank Pikko, Bank Danpac dan Bank CIC.

"Saya untuk pertama dan terakhir kalinya bertemu dengan pemegang saham dan direksi tiga bank itu hanya tanggal 16 April 2004, membahas realisasi komitmen pengurus tiga bank tersebut dalam rangka pelaksanaan merger," katanya.

Dalam penjelasan Anwar, awal mulanya permohonan merger ketiga bank untuk membentuk Bank Century dibahas pertama kalinya dalam Rapat Dewan Gubernur BI pada 27 November 2001.

Pada saat itu, menurut Anwar, laporan pemeriksaan bank menggambarkan Bank Pikko dan CIC pantas untuk dibubarkan karena kekurangan modal, kualitas aktiva dan manajemen yang buruk, maupun karena pelanggaran aturan yang terus-menerus dilakukan oleh pemilik serta pengurunya.

Ia mengatakan, dalam dapat dewan gubernur tersebut, dirinya bertanya kepada Direktur Direktorat Pengawasan Bank 1 (DPwB1) apakah kondisisnya akan lebih baik bila ketiga bank tersebut digabung.

Pada saat itu menurut Anwar, jawabannya positif. Apabila digabung, BI bisa menetapkan syarat yang ketat dan mengontrol pemegang saham. Pengawas bank pun percaya akan kemampuan serta kemauan pemilik tiga bank itu untuk memenuhi komitmennya.

Maka berdasarkan rapat tersebut, menurut Anwar, rapat dewan gubernur menyetujui akuisisi oleh Chinkara terhadap ketiga bank itu dengan syarat ketiga bank itu memberikan pernyataan untuk memenuhi modal hingga rasio kecukupan modal (CAR) 8 persen, memperbaiki manajemen dan mencegah terulangnya tindakan bank yang melawan hukum.

Selain itu rapat dewan gubernur menugaskan Direktorat Pengawasan Bank 1 selaku koordinator untuk meneliti mengenai kepemilikan saham dan kemungkinan adanya penyimpangan.

Pada 16 April 2004, Anwar Nasution kembali memimpin rapat dengan para pejabat BI dan pemilik ketiga bank itu. Rapat itu bertjuan meminta pemilik memenuhi komitmen mereka menambah modal sebesar Rp300 miliar - Rp400 miliar dalam jangka waktu seminggu.

Hal ini karena setoran modal yang dilakukan oleh MR Rafat dalam bentuk medium term notes (MTN) Dresdner Bank senilai 32 juta dolar AS macet. Ternyata MTN tersebut berasal dari kredit macet Texmaco yang diambil alih oleh Pikko dan tidak memiliki peringkat.

Dalam rapat itu pemilik saham diminta menempatkan dana sebesar 30 juta dolar AS di escrow account CIC. Dan segera mengajukan rencana merger.

Menurut Anwar MR Rafat bersedia memenuhi tiga syarat tersebut dan berjanji membicarakan tambahan modal dengan para pemilik saham lainnya serta menyampaikan proposal merger selambatnya Oktober 2004.

Anwar menambahkan pada 22 Juli 2004, Direktur pada DPwB1 AT mengajukan dua catatan. Catatan pertama nomor 6/29/DGS/DPwB1/Rahasia melaporkan adanya temuan baru berupa rekayasa laporan keuangan oleh Bank Pikko dan pelanggaran batas maksimum pemberian kredit (BMPK) bank CIC.

Dalam keterangannya, Anwar mengatakan, menurut catatan AT, karena Gubernur BI telah memerintahkan merger ketiga bank itu mutlak dilaksanakan, maka untuk merealisasikannya, AT mengusulkan agar BI memberikan setidaknya dua jenis toleransi.

Toleransi yang pertama bahwa MTN Dresdner Bank yang macet itu tidak digolongkan sebagi macet hingga tanggal jatuh temponya sehingga Bank Century dapat memenuhi syarat CAR 8 persen. Toleransi ini diberikan berdasarkan keputusan rapat Komite Evaluasi Perbankan (KEP) di Bali.

Toleransi yang kedua berupa penundaan sanksi fit and proper test.

Untuk mendukung pemberian toleransi tersebut, menurut Anwar, BI harus meminta kepada pemegang saham dan manjemen untuk memperkuat likuiditas dan memenuhi komitmen penyelesaian surat berharga. Selain itu BI harus mengantisipasi meminimalkan risiko pada bank tersebut.

Anwar menjelaskan seusai meninggalkan BI pada 26 Juli 2004, empat hari dari tanggal kedua catatan itu, Anwar tidak lagi mengetahui realisasi usul pemberian toleransi oleh DPWB1.
(*)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009