Jakarta (ANTARA News) - Pada akhirnya profesionalitas berada di atas segalanya ketika kepakaran dan keahlian menjadi satu-satunya alasan yang membentuk sebuah pengakuan.

Mungkin kalimat itu cukup mewakili ketika pada Senin (19/10) siang Marty Natalegawa menjadi orang pertama yang tiba di kediaman pribadi presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono guna menjalani uji kelayakan calon menteri.

Puluhan wartawan yang telah tiga hari mengikuti uji kelayakan calon menteri dan pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu Kedua pun lega ketika melihat sosoknya di kediaman pribadi Yudhoyono.

Lega karena tak perlu susah-susah menebak pada posisi mana pria kelahiran Bandung 46 tahun lalu itu akan ditempatkan, mengingat untuk sejumlah calon menteri dan pejabat negara yang lain, terutama yang berasal dari partai politik, para wartawan harus menebak-nebak posisi yang kira-kira paling pas untuk para politisi itu.

Sebagaimana latar belakang pendidikannya di bidang hubungan internasional, hampir separuh hidup pria yang selalu tampil rapi itu dihabiskan guna meniti karir sebagai diplomat di Departemen Luar Negeri.

Mengawali karir sebagai Staf Badan Litbang Departemen Luar Negeri pada 1986-1990, karir pemilik nama lengkap Raden Mohammad Marty Muliana Natalegawa itu mulai menanjak sejak awal 2000, tepatnya ketika ia ditunjuk sebagai juru bicara Departemen Luar Negeri periode 2002-2005.

Setelah itu Marty langsung dilantik menjadi Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Indonesia untuk Inggris Raya dan Republik Irlandia periode 2005-2007, menggantikan Juwono Sudarsono yang menjabat sebagai Menteri Pertahanan.

Terakhir ayah tiga anak itu memimpin barisan diplomat Indonesia di Perwakilan RI di markas besar PBB New York dengan jabatan Duta Besar RI untuk PBB, sebelum dipanggil Yudhoyono untuk mengikuti uji kelayakan calon menteri dan pejabat negara.

Penunjukan itu menjadikan suami dari Sranya Bamrungphong itu sebagai duta besar termuda di Indonesia. Sebelumnya di era Presiden Soeharto, posisi duta besar adalah suatu jabatan yang erat kaitannya dengan senioritas, yang kemudian berubah di era Menteri Luar Negeri Kabinet Indonesia Bersatu Hassan Wirajuda.

"Kalau mau terus `urut kacang`, bagi intern tidak apa-apa. Tetapi, ketika harus berinteraksi dengan negara lain akan kelihatan," urainya sebagaimana dikutip dari ensiklopedi tokoh Indonesia.

Sementara itu terkait dengan profesionalitasnya, Marty sebagaimana dikutip dari sebuah majalah wanita berkata, "Tidak ada short cut. Semua harus dilakukan dengan kerja keras. Tugas harus dilaksanakan dengan maksimal dan dianggap sebagai hal yang paling penting. Saya tegaskan bahwa kita bekerja dalam sebuah tim. Bukan saya pribadi. Masing-masing punya peranan yang tidak bisa diabaikan."

Ia juga menilai bahwa menjadi diplomat setelah masa reformasi merupakan suatu pengalaman yang berbeda.

"Apa keinginan negara sesuai dengan moral personality kita. Hal ini berbeda pada masa sebelumnya. Ada pernyataan yang kadang tak sesuai dengan moral personality kita, ...Sekarang ini, saya bisa menjelaskan kondisi Indonesia, tanpa harus merekayasa," kata pria kelahiran Bandung 22 Maret 1963.

Ketika dihubungi ANTARA pada Rabu malam, 30 menit setelah namanya diumumkan secara resmi menjadi menteri luar negeri yang baru, Marty mengemukakan komitmennya untuk menerima amanah itu.

"Saya menerima amanah tanggung jawab ini dengan penuh kerendahan hati dan kesadaran berbagai keterbatasn yang saya miliki, namun di lain pihak saya juga berkeyakinan bahwa bersama bangsa Indonesia dapat mencapai raihan yang lebih tinggi lagi di bidang politik luar negeri sebagaimana di amanatkan oleh bapak presiden," katanya.

Penggemar klub sepak bola Inggris Liverpool dan tim bola basket New York Knicks itu menekankan harapan Presiden Yudhoyono untuk menampilkan sosok Indonesia yang memperjuangkan perdamaian dan keamanan internasional serta mewujudkan kesejahteraan dan demokrasi di dunia.

Terkait dengan peran para diplomat, ia mengatakan sebelumnya bahwa dalam uji kelayakan Presiden Yudhoyono menyinggung masalah peningkatan dedikasi diplomat Indonesia, karena kepala negara menilai keberhasilan diplomasi dan politik luar negeri suatu bangsa dapat menentukan kemajuan suatu bangsa.

"Ditekankan mengenai perlunya revitalisasi dan reformasi politik luar negeri dan diplomasi kita, terutama ditekankan pentingnya jajaran diplomat meningkatkan kemampuan dan pengetahuan," tuturnya.

Ia juga mengaku diberi tugas khusus untuk mengelola serta membangkitkan peran yang akan dimainkan Indonesia dalam pergaulan internasional, seperti dalam forum G20.

"Dan tentunya dalam menyongsong KTT `Climate Change` (perubahan iklim) yang akan diselenggarakan Desember mendatang," katanya.

Ramah, bersahaja, dan sangat menghargai waktu, itulah komentar rekan sejawat ataupun kolega tentang sosok ayah tiga anak yang semenjak kecil telah bercita-cita menjadi seorang diplomat karena merasa tersinggung ketika teman masa kecilnya di luar negeri tidak tahu letak Indonesia.

Pergaulan internasionalnya memang telah dimulai sejak usia 9 tahun, ketika keluarganya mengirimnya untuk bersekolah di Singapura. Di negeri Singa itu ia bersekolah di Singapore International School sebelum kemudian pindah ke sekolah asrama Ellesmere College dan Concord College, Inggris pada tahun 1981.

Marty juga menamatkan kuliah dan meraih gelar BSc, Homour, di bidang hubungan internasional di London School of Economics and Political Science, University of London tahun 1984 dan meraih Master of Philosophy in International Relations, Corpus Christi College, Cambridge University tahun 1985.

Walaupun menamatkan SMP hingga S2 di Inggris, ayah dari Annisa, Anantha dan Andreyka itu justru memperoleh gelar doktornya (Doctor on Philosophy in International Relations) dari Australian National University pada 1993.

Dan belasan tahun kemudian, mimpi masa kecil Marty terwujud. Ia adalah sebagai salah satu orang Indonesia yang pernah menjadi Presiden Dewan Keamanan PBB bulan November 2007.

Dimana pada awal masa jabatannya, pria berkacamata itu berhasil meloloskan kalender agenda pembahasan secara mulus --dinamika yang jarang terjadi di lingkungan DK-PBB, yang biasanya justru diwarnai perdebatan alot soal isu yang akan dibahas dalam satu bulan.

Dia juga lantang menyuarakan sikap Indonesia ketika menjadi satu-satunya dari 15 negara anggota DK PBB yang bersikap abstain saat badan PBB itu sepakat menjatuhkan sanksi baru bagi Iran --resolusi DK No.1803--, terkait dengan masalah sengketa atom.

Ketegasannya dalam mengemukakan pendapat di forum-forum internasional sangat dihargai dunia. Hal itu terbukti tatkala pada saat hampir bersamaan, 28 Februari 2008, Marty (Indonesia) terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Komite Khusus PBB untuk Dekolonisasi periode 2008.

Dan di penghujung 2009 ini profesionalitas dan keteguhan komitmennya pada pekerjaannya membawa pria yang pada masa mudanya pernah turut menggelar aksi unjuk rasa menuntut pembebasan Nelson Mandela itu menjadi orang nomor satu di Pejambon (Departemen Luar Negeri), siap untuk menahkodai kapal besar berisi jajaran diplomat terbaik Indonesia berkiprah di kancah internasional.(*)

Oleh Oleh Gusti Nur Cahya Aryani
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009