Hua Hin (ANTARA News) - Setelah melalui mekanisme pembahasan di tingkat Menteri Luar Negeri dan pemilihan wakil-wakilnya, Perhimpungan Bangsa-Bangsa di Asia Tenggara (ASEAN) pada 23 Oktober 2009 resmi memiliki Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) antarpemerintahan ASEAN (ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights/AICHR).

Peresmian Komisi HAM antarpemerintah ASEAN ini dilaksanakan di Hua Hin, Thailand, di sela-sela pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-15 yang dihadiri oleh seluruh anggota komisi yang berjumlah 10 orang.

Anggota AICHR merupakan perwakilan dari masing-masing negara anggota ASEAN yakni Dr. Sriprapha Petcharamesree dari Thailand yang ditetapkan sebagai Ketua AICHR, Om Yentieng (Kamboja), Rafendi Djamin (Indonesia), dan Bounkeut Sangsomsak (Laos), Awang Abdul Hamid Bakal (Malaysia), Kyaw Tint Swe (Myanmar), Rosario G. Manalo (Filipina), Richard Magnus (Singapura), dan Do Ngoc Son (Viet Nam).

Dalam kerjanya, komisi ini bertugas merumuskan upaya pemajuan dan perlindungan HAM di kawasan melalui edukasi, pemantauan, diseminasi nilai-nilai dan standar HAM internasional sebagaimana diamanatkan oleh Deklarasi Universal tentang HAM, Deklarasi Wina dan instrumen HAM lainnya.

AICHR berfungsi sebagai institusi HAM di ASEAN yang bertanggungjawab untuk pemajuan dan perlindungan HAM di ASEAN. Namun, sejauh ini, peran AICHR lebih dominan pada fungsi promosi, bukan perlindungan.

Wakil Indonesia dalam Komisi HAM antarpemerintah ASEAN Rafendi Djamin mengatakan, fungsi perlindungan dari komisi yang baru diresmikan itu di masa mendatang harus diperkuat.

Rafendi yang ditemui di sela-sela KTT ASEAN ke-15 di di Hua Hin, Thailand, Jumat, menuturkan, tanpa adanya penguatan pada fungsi perlindungan ini, maka AICHR hanya akan menjadi institusi "tanpa gigi".

"Kita menghendaki proteksi yang kuat. Kegiatan komisi ini harus menuju pada penguatan proteksi di wilayah ASEAN," katanya setelah mengikuti peresmian pembentukan AICHR.

Menurut Rafendi, kerja komisi itu terbatas. Komisi, katanya, tidak dapat memberikan sanksi atas pelanggaran HAM yang terjadi di suatu negara dan pembahasan masalah HAM hanya dapat dilakukan dalam tingkat dialog.

"Prinsipnya, kerja komisi ini sama dengan prinsip ASEAN yakni konsensus," katanya.

Padahal, Indonesia memiliki standar yang cukup tinggi dalam hal perlindungan HAM. Namun, standar ini tidak dapat dipaksakan untuk diterapkan dalam kerja AICHR.

"Kita tentu tidak bisa memaksakan kehendak, kita harus akomodatif tetapi dengan catatan tidak mengorbankan visi kita sendiri," katanya.

Meskipun demikian, Rafendi menuturkan, pembentukan AICHR merupakan suatu kemajuan, mengingat sebelumnya masalah HAM di ASEAN ini menjadi sesuatu yang belum tersentuh.

"Terbentuknya komisi ini adalah bentuk kemajuan karena kita tahu bahwa sebelumnya HAM menjadi sesuatu yang `tabu` untuk dibahas dalam ASEAN. Indonesia akan meneruskan garis yang telah diperjuangkan sebelumnya. Kita menghendaki proteksi yang kuat," katanya.

Ia optimistis melalui pembentukan AICHR ini, maka perlindungan HAM di kawasan ASEAN menjadi lebih baik daripada sebelumnya.

Menurut Rafendi, Indonesia sebagai negara anggota ASEAN terbukti memiliki mekanisme perlindungan HAM yang lebih baik. Dan, pengalaman tersebut perlu dibagikan pada negara-negara lain di ASEAN.

Sementara itu, pemerintah Indonesia berjanji untuk terus mendukung perkembangan Komisi HAM antar-pemerintah ASEAN agar bisa berfungsi penuh memberikan perlindungan hak asasi di tingkat kawasan.

Dukungan tersebut ditegaskan oleh Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri Imron Cotan di Hua Hin, Thailand. Indonesia, menurut Imron, terus mendukung penguatan AICHR sebagai bagian dari upaya menularkan pengalaman belajar dari masa lalu yang pernah terjadi pelanggaran HAM dan kini berusaha berdemokrasi.

Ia mengatakan Indonesia memberikan kepercayaan penuh kepada wakilnya di AICHR, Rafendi Djamin, untuk menjalankan tugasnya selama tiga tahun ke depan.

Imron mengakui efektivitas AICHR memang harus menunggu waktu karena usulan Indonesia untuk memperkuat komisi tersebut masih mengalami ganjalan.

Namun, ia tetap optimistis AICHR dapat meningkat fungsinya tahap demi tahap sesuai komitmen kepala negara ASEAN untuk meninjau kerangka kerja AICHR setiap lima tahun.

"Ini merupakan suatu capaian yang maksimal untuk sementara, walaupun tidak ideal karena tidak ada unsur verifikasi, unsur yang terkait dengan pengawasan. Tapi kalau dilihat nanti bahwa sudah ada keputusan di tingkat kepala negara untuk memperkuat mekanisme dan promosi perlindungan HAM melalui peninjauan setiap lima tahun, maka ini ada usaha untuk memperbaiki," tuturnya.

Ia mengatakan tidak mudah menemukan parameter yang sama di bidang perlindungan hak asasi manusia untuk sepuluh negara ASEAN yang berbeda dalam kemajuan ekonomi, perbedaan sistem pemerintahan, dan sistem politik. Namun, ujar Imron, komitmen meninjau kerangka kerja AICHR setiap lima tahun merupakan tahapan pembentukan komisi HAM yang mapan dan solid di kawasan ASEAN.

Pemimpin negara ASEAN telah menyetujui penyaluran dana senilai 200 ribu dolar AS yang berasal dari iuran sepuluh negara anggota ASEAN untuk operasi tahun pertama AICHR.

Dana awal itu, menurut Imron, masih bisa ditingkatkan secara perlahan dan juga masih bisa diupayakan bantuan dari negara-negara demokrasi yang sudah cukup mapan.

Pertemuan perdana antara 10 wakil negara-negara di ASEAN dalam AICHR dijadwalkan berlangsung pada Sabtu (24/10) disela-sela KTT ASEAN ke-15. Dalam pertemuan tersebut para wakil AICHR akan saling mengenal lebih dekat dan membahas program kerja yang akan dilaksanakan selama tiga tahun ke depan.

Pembentukan AICHR ini merupakan langkah maju dari ASEAN untuk mewujudkan salah satu tujuannya yaitu memperkuat demokrasi, meningkatan tata kepemerintahan yang baik dan aturan hukum, dan memajukan serta melindungi hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan fundamental, dengan memperhatikan hak dan kewajiban negara-negara anggota ASEAN.(*)

Oleh Heppy Ratna
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009