Pemberian insentif oleh pemerintah ini diharapkan membantu daya beli masyarakat sehingga mendorong transaksi ekonomi lebih bergairah
Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Danang Girindrawardana menilai untuk mendongkrak daya beli, salah satu upaya yang dapat dilakukan pemerintah adalah memberikan insentif yang fokus atau bisa langsung dirasakan konsumen.

Ia menyebutkan ada dua insentif fiskal yang yang dapat diberikan untuk memacu daya beli masyarakat, yakni pajak pertambahan nilai (PPN) dan cukai.

"Insentif PPN bisa diberikan dalam jangka waktu tertentu di masa pemulihan ekonomi dan jangan terlalu besar sehingga tidak merusak keuangan negara," ujar Danang dalam keterangan di Jakarta, Selasa.

Baca juga: Ditjen Pajak ungkap 200 ribu UMKM manfaatkan insentif pajak

Ia menuturkan selama ini PPN berkontribusi cukup besar terhadap pendapatan negara. Karena itu, pembebasan PPN juga akan berdampak cukup besar terhadap penerimaan negara.

Namun, di sisi lain, pembebasan PPN dapat membantu menjaga daya beli masyarakat. Danang pun menilai insentif tersebut dapat dipertimbangkan setidaknya untuk tiga bidang.

Pertama, PPN antarkorporasi pada rantai pasokan alias supply chain. Selama ini, perusahaan yang membeli pasokan dari perusahaan lain untuk proses produksi juga dikenakan PPN.

"Insentif PPN yang ditanggung pemerintah untuk korporasi, khususnya bagi sektor UKM, akan mengurangi ongkos produksi, sehingga produsen bisa menjual produknya dengan harga yang lebih murah. Ini akan berimbas langsung ke konsumen," kata Danang.

Kedua, PPN di logistik. Biaya logistik yang ditanggung pengusaha selama ini cukup besar, rata-rata mencapai 27 persen dari total biaya produksi.

Dari biaya logistik tersebut, ada juga PPN yang harus ditanggung korporasi. PPN di sektor logistik ini tentu berpengaruh terhadap penurunan ongkos logistik yang dapat berdampak kepada harga jual ke konsumen.

Ketiga, PPN di tingkat konsumen akhir. Pemerintah juga bisa memberikan insentif PPN yang ditanggung pemerintah untuk kategori barang tertentu.

Menurut Danang, tidak semua produk atau jasa bisa dibebaskan PPN-nya. Sebaiknya, hanya produk atau jasa tertentu saja seperti jasa pendidikan dan jasa transportasi yang krusial buat masyarakat.

Produk seperti pulsa dan internet bisa juga diberikan insentif PPN karena menjadi bagian penting dalam proses pendidikan yang belakangan mulai dijalankan dari rumah.

Tak hanya itu, produk dengan eksternalitas negatif yang lebih rendah seperti mobil listrik atau produk inovatif lainnya yang menghadirkan alternatif lebih baik bagi konsumen, juga bisa diberikan insentif PPN.

Danang mengatakan, dibutuhkan kajian mendalam mengenai kategori barang dan jasa apa yang bisa diberikan insentif PPN.

Namun, yang jelas, pemberian insentif oleh pemerintah ini diharapkan membantu daya beli masyarakat sehingga mendorong transaksi ekonomi lebih bergairah.

Berbeda dengan PPN, pungutan cukai bukan hanya ditujukan sebagai sumber pendapatan negara namun lebih untuk mengatur perilaku konsumsi masyarakat.

Karena itu, menurut Danang, insentif untuk pungutan cukai bisa saja menjadi alternatif untuk stimulus ekonomi bagi beberapa industri, khususnya yang bisa berinovasi untuk dapat mengurangi dampak negatif atas produk yang kena cukai.

Selain mendorong daya beli masyarakat, hal ini juga dapat mengatur pola konsumsi masyarakat ke arah yang lebih baik.

Pemerintah dinilai tidak perlu membebaskan cukai namun bisa memformulasikan kebijakan tertentu agar tidak ada kenaikan yang berlebihan. Ini bisa dilakukan namun secara terbatas, misalnya dalam waktu satu tahun.

Dengan demikian, perusahaan bisa mempertahankan kinerjanya sehingga tidak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) pada pekerja.

Dengan adanya insentif yang tepat, maka harapannya dapat memacu daya beli masyarakat yang berujung pada kestabilan ekonomi.

Baca juga: Pemerintah perlu kaji ulang insentif bagi usaha terdampak pandemi
Baca juga: Apindo: Inovasi jadi kunci industri bertahan di masa pandemi

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2020