Jakarta (ANTARA) - Indonesia dinilai perlu menangkap peluang untuk masuk rantai pasok global (global value chain/GVC) di bidang farmasi lantaran karantina wilayah di China, yang jadi produsen bahan baku obat, membuat kegiatan industri di negara tersebut terhenti.

Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Andree Surianta dalam webinar, Kamis, menjelaskan pemerintah berbagai negara pun kini mulai mendorong perusahaan-perusahaan farmasi multinasional untuk mempertimbangkan mencari sumber pasokan dari negara lain. Namun, ia mengingatkan agar pemeirntah membenahi berbagai hambatan yang ada untuk membidik peluang tersebut.

"Peluang-peluang yang muncul dari usaha mengurangi ketergantungan rantai pasokan obat terhadap China harus ditangkap dan dieksekusi dengan baik. Agar Indonesia bisa masuk ke dalam GVC sektor farmasi, tentu pemerintah harus mengerti bagaimana GVC bekerja dan serius membenahi berbagai hambatan regulasi agar Indonesia bisa jauh lebih menarik dibandingkan dengan produsen farmasi kelas kakap seperti China dan India," katanya.

Menurut Andree, peluang menangkap restrukturisasi mata rantai pasokan global akan sia-sia kalau Indonesia tidak membenahi regulasi yang ada. Ia menyebut kerumitan dan berlapisnya regulasi sudah sering dikeluhkan sebagai salah satu penyebab yang berkontribusi pada rendahnya pertumbuhan FDI (investasi asing langsung) di Indonesia.

Data BKPM menyebut bahwa pertumbuhan FDI per triwulan nyaris 0 persen sejak Triwulan II 2019. Sementara itu, data Bank Dunia juga menunjukkan sebanyak 137 perusahaan Jepang merelokasi usahanya ke Asia Tenggara pada 2017 dan hanya sepuluh perusahaan yang masuk ke Indonesia. Dua tahun setelah itu, sebanyak 33 perusahaan pindah dari China dan tidak ada yang masuk ke Indonesia.

"Ketika Presiden Jokowi ingin mengembangkan industri farmasi di tahun 2016, beliau memberikan instruksi kepada 12 kementerian dan lembaga untuk mengatur sektor ini; tentu ini meningkatkan resiko tumpang tindihnya peraturan," ujarnya.

Andree menjelaskan pemerintah menetapkan berbagai peraturan yang kurang cocok dengan tren GVC di farmasi. Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Perlindungan Kekayaan Intelektual menyebut jika produk yang dipatenkan di Indonesia tidak diproduksi di Indonesia dalam jangka waktu tertentu, maka paten produk tersebut bisa dicabut.

Sementara itu, Daftar Negatif Investasi yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 juga tidak mengijinkan kepemilikan asing penuh untuk pabrik obat jadi di Indonesia. Hal-hal itu, menurut Andree, cenderung membatasi ruang gerak perusahaan farmasi, apalagi jika mereka ingin menempuh jalur outsourcing.

Selain itu, muncul peraturan baru yang berpotensi multitafsir. Misalnya, Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 16 Tahun 2020 tentang perhitungan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) untuk produk farmasi.

"Walaupun saat ini tidak ada sanksinya, peraturan ini memberikan sinyal resiko pengetatan di masa mendatang bagi calon investor," katanya.

Satu perkembangan yang positif adalah adanya rencana pemberian insentif pajak hingga 300 persen untuk perusahaan yang melakukan kegiatan penelitian di Indonesia dan meneruskan sampai tahap komersialisasi.

Namun, sekali lagi, insentif ini sepertinya lebih ditujukan untuk perusahaan farmasi yang melakukan kegiatan dari hulu ke hilir dan kurang mengena untuk perusahaan yang berspesialisasi di tengah-tengah mata rantai, misalnya hanya melakukan kegiatan produksi.

"Kebijakan yang dibuat hendaknya berwawasan lebih luas. Strategi untuk fokus pada kebutuhan domestik terlalu kecil untuk mengubah tren farmasi global. Kementerian Perindustrian dan Kementerian Kesehatan harus fokus pada menghubungkan perusahaan lokal dengan pasar global," ungkapnya.

Andree juga menyebut penawaran insentif tidak bisa menggantikan reformasi struktural karena penawaran insentif hanyalah strategi jangka pendek dan menguras APBN. Reformasi ini dapat diawali dengan menggolkan revisi UU Nomor 13/2016 melalui RUU Cipta Kerja.

Pemerintah, lanjut dia, juga perlu meninjau ulang peraturan-peraturan menteri yang tidak sejalan dengan tren perkembangan GVC. Memaksakan produksi lokal, misalnya, malah kelihatannya menghalangi investasi asing. Pembuatan peraturan-peraturan baru di sektor farmasi harus dilakukan dengan hati-hati supaya tidak terjadi tumpang tindih yang malah jadi menghambat partisipasi Indonesia di dalam GVC farmasi.

 

Pewarta: Ade irma Junida
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2020