Jakarta (ANTARA) - Tersangka pembobol kas Bank BNI senilai Rp1,2 triliun Maria Pauline Lumowa langsung diserahkan ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, sesaat setelah tiba di Indonesia melalui Terminal 3 kedatangan Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Kamis.

"Setelah ini langsung kami kirim ke Bareskrim Polri," ujar Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dalam jumpa pers di ruang tunggu VIP Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten.

Yasonna mengatakan Maria Pauline telah menjalani serangkaian tes kesehatan serta telah melengkapi data keimigrasian sebelum diserahkan ke pihak kepolisian.

Baca juga: Pembobol BNI Maria Pauline yang buron 17 tahun tiba di Tanah Air

Lebih lanjut, kata dia, Maria Pauline juga akan diberikan hak untuk menunjuk penasehat hukum.

Berdasarkan percakapan Maria dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, perempuan yang telah menjadi buron selama 17 tahun itu akan menunjuk kuasa hukum dari Kedutaan Besar Belanda.

"Maka sebagai negara hukum, kita akan mematuhi standar-standar prosedur hukum yang berlaku. Beliau berhak didampingi pengacara, dan tentunya negara di mana beliau menjadi warga negara akan melakukan perlindungan atau pendampingan bagi warga negara mereka," kata Yasonna.

Diketahui, Maria Pauline Lumowa diekstradisi dari Serbia ke Indonesia pada Rabu (8/7).

Keberhasilan proses ekstradisi tersebut tidak lepas dari diplomasi hukum tingkat tinggi dan hubungan baik antar kedua negara.

Diketahui, Maria Pauline Lumowa merupakan salah satu tersangka pelaku pembobolan kas bank BNI cabang Kebayoran Baru lewat Letter of Credit (L/C) fiktif.

Pada periode Oktober 2002 hingga Juli 2003, Bank BNI mengucurkan pinjaman senilai 136 juta dolar AS dan 56 juta Euro atau sama dengan Rp1,2 Triliun dengan kurs saat itu kepada PT Gramarindo Group yang dimiliki Maria Pauline Lumowa dan Adrian Waworuntu.

Aksi PT Gramarindo Group diduga mendapat bantuan dari 'orang dalam' karena BNI tetap menyetujui jaminan L/C dari Dubai Bank Kenya Ltd., Rosbank Switzerland, Middle East Bank Kenya Ltd., dan The Wall Street Banking Corp yang bukan merupakan bank korespondensi Bank BNI.

Baca juga: Ketua Komisi III DPR apresiasi Menkumham atas ekstradisi Maria Pauline

Pada Juni 2003, pihak BNI yang curiga dengan transaksi keuangan PT Gramarindo Group mulai melakukan penyelidikan dan mendapati perusahaan tersebut tak pernah melakukan ekspor.

Dugaan L/C fiktif ini kemudian dilaporkan ke Mabes Polri, namun Maria Pauline Lumowa sudah lebih dahulu terbang ke Singapura pada September 2003 alias sebulan sebelum ditetapkan sebagai tersangka oleh tim khusus yang dibentuk Mabes Polri.

Perempuan kelahiran Paleloan, Sulawesi Utara, pada 27 Juli 1958 tersebut belakangan diketahui keberadaannya di Belanda pada 2009 dan sering bolak-balik ke Singapura.

Pemerintah Indonesia sempat dua kali mengajukan proses ekstradisi ke Pemerintah Kerajaan Belanda, yakni pada 2010 dan 2014, karena Maria Pauline Lumowa ternyata sudah menjadi warga negara Belanda sejak 1979.

Namun, kedua permintaan itu direspons dengan penolakan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda yang malah memberikan opsi agar Maria Pauline Lumowa disidangkan di Belanda.

Upaya penegakan hukum lantas memasuki babak baru saat Maria Pauline Lumowa ditangkap oleh NCB Interpol Serbia di Bandara Internasional Nikola Tesla, Serbia, pada 16 Juli 2019.

"Penangkapan itu dilakukan berdasarkan red notice Interpol yang diterbitkan pada 22 Desember 2003. Pemerintah bereaksi cepat dengan menerbitkan surat permintaan penahanan sementara yang kemudian ditindaklanjuti dengan permintaan ekstradisi melalui Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham," kata Yasonna.

Baca juga: Akhir petualangan Maria Pauline Lumowa pembobol Bank BNI Rp1,7 triliun
 

Pewarta: Fathur Rochman
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2020