Yogyakarta (ANTARA) - Pengamat Timur Tengah Universitas Gadjah Mada (UGM) Siti Mutiah Setiawati menilai upaya Presiden Turki Tayyip Erdogan menetapkan monumen era Bizantium Hagia Sophia menjadi masjid untuk menunjukkan eksistensi dan kekuasaannya di mata dunia.

"Jadi semacam 'show of force' atau unjuk kekuasaan pada dunia yang bisa dia miliki adalah dengan mengubah Hagia Sophia," kata Mutiah di Yogyakarta, Rabu.

Melalui cara itu, kata dia, Erdogan juga berusaha menunjukkan eksistensi Turki di mata dunia, khususnya negara-negara Eropa karena negara bekas Kekaisaran Usmani atau Ottoman itu berulang kali ditolak masuk menjadi anggota Uni Eropa.

Baca juga: Erdogan tetapkan Hagia Sophia jadi masjid, ibadah pertama pada 24 Juli

Menurut Mutiah, kendati banyak protes dari sejumlah negara, upaya yang ditempuh Erdogan legal karena bangunan itu berada di wilayah Turki. Apalagi, Pengadilan Tinggi Turki juga telah membatalkan dekrit Kabinet 1934 yang mengubah Hagia Sophia di Istanbul menjadi museum.

"Itu di wilayah teritori Turki. Mestinya Erdogan memang punya wewenang," kata Ketua Program Studi Pascasarjana Departemen Hubungan Internasional Fisipol UGM ini.

Jika merunut sejarahnya, kata Mutiah, pada masa kekuasaan Turki Usmani di bawah Muhammad al-Fatih atau Mehmet II, Hagia Sophia yang dibangun sebagai gereja oleh Kaisar Bizantium, diubah fungsinya menjadi masjid.

Setelah Turki dipimpin Mustafa Kemal Ataturk, Hagia Sophia kemudian berubah menjadi museum pada 1934.

Baca juga: Hagia Sophia akan terbuka untuk pengunjung berbagai agama

Peristiwa itu, menurut dia, merupakan kebalikan dengan Masjid Cordoba yang merupakan peninggalan kejayaan peradaban Islam masa kekuasaan Kekhalifahan Umayyah di Spanyol yang diubah fungsinya menjadi Katedral.

"Dunia saat itu tidak ada yang protes. Tapi mengapa Hagia Sophia ini kok kemudian diprotes? Padahal sudah lama menjadi museum dan berada di wilayah teritori Turki," kata dia.

Selain itu, Mutiah menilai upaya pengubahan Hagia Sophia menjadi masjid adalah untuk memperoleh legitimasi politik dari akar rumput masyarakat Turki yang mayoritas Muslim.

Lebih dari itu, ia menduga Erdogan justru berusaha membuat sesuatu yang bisa dikenang oleh rakyat Turki pada masa akhir kepemimpinannya.

Baca juga: Turki akan beritahu UNESCO soal Hagia Sophia

"Kan orang itu ada masa puncak kejayaan. Jadi saya kira Erdogan sudah pada puncaknya. Dia ingin meninggalkan sesuatu bagi rakyatnya," kata dia.

Diwartakan sebelumnya, Presiden Turki Tayyip Erdogan pada Jumat (10/7) menetapkan secara resmi Hagia Sophia sebagai masjid dan ibadah pertama di bangunan bersejarah itu akan berlangsung pada 24 Juli 2020.
 

Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2020