Di satu sisi menjaga kesehatan masyarakat melalui pencegahan penyebaran COVID-19; Di sisi lain pilkada harus berjalan sukses dan menghasilkan kepala daerah yang berkualitas.
Jakarta (ANTARA) - Sepertinya pelaksanaan pemungutan suara Pilkada Serentak 2020 yang dijadwalkan 9 Desember 2020 tidak ada tanda-tanda ditunda.

Pada saat yang sama, tanda-tanda wabah COVID-19 mulai reda juga belum tampak. Bahkan, sangat fluktuatif. Bisa jadi, pelaksanaan Pilkada 2020 akan tetap dilaksanakan sesuai dengan rencana. Itu artinya, Pilkada 2020 harus "berkolaborasi" dengan COVID-19. Arti kolaborasi di sini, perhelatan demokrasi tetap berjalan dan penanganan protokol kesehatan juga berjalan dengan ketat, konstan, kontinu ,dan konsekuen.

Jangan sampai perhelatan pesta demokrasi ada korban karena melanggar protokol kesehatan. Semoga tidak saling bertabrakan antara pilkada dan corona. Rugi dari aspek politik dan kesehatan.

Pertanyaan, apa risiko pelaksanaan Pilkada 2020 masih diliputi pandemi COVID-19? Pertanyaan berikutnya, apa risiko pemberlakukan protokol kesehatan berbarengan dengan Pilkada 2020?

Baca juga: Hasil tes cepat reaktif, Bawaslu Sleman karantina pengawas pilkada

Corona datang tiba-tiba. Siapa pun tidak menduga bahwa pandemik COVID-19 berawal dari Wuhan, Tiongkok, di penghujung tahun 2019 atau awal tahun 2020 menelan banyak korban dan menyebar sangat cepat ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Corona datang di Indonesia secara tiba-tiba. Istilahnya tidak ada hujan tidak ada angin. Dalam bahasa dan istilah lokal, COVID-19 muncul mak bedunduk, mak jegagik, ujug-ujug.

Sampai dengan artikel ini ditulis, Sabtu (10/7), jumlah penyebaran COVID-19 sebanyak 72.347 kasus. Sebelumnya, pada tanggal 9 Juli 2020 tercatat 70.736 kasus, atau ada penambahan 1.611 kasus.

Jumlah pasien sembuh sebanyak 33.529 kasus. Sehari sebelumnya, 9 Juli, sebanyak 32.651 kasus, atau ada tambahan yang sembuh sebanyak 878 kasus.

Jumlah pasien meninggal sebanyak 3.469 kasus, atau ada penambahan 52 kasus dari data pada tanggal 9 Juli 2020 sebanyak 3.417 kasus.

Pertanyaannya, menuju pelaksanaan pilkada, 9 Desember 2020, jumlah penyebaran dan kematian apakah terus bertambah atau berkurang pergerakkannya.

Begitu pula, kasus yang sembuh apakah makin cepat naik atau pelan-pelan saja. Hal ini penting diungkapkan sehubungan dengan rekomendasi seperti yang disampaikan oleh Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Letnan Jenderal TNI Doni Monardo.

Dari 270 daerah yang akan melaksanakan pilkada serentak, kata Doni Monardo, sebanyak 49 daerah dengan perincian 9 provinsi dan 40 kabupaten/kota tergolong berisiko tinggi. Sementara itu,  43 daerah tidak terdampak, 72 daerah risiko ringan, dan 99 daerah berisiko sedang.

Baca juga: KPU Manokwari targetkan minimal 85 persen pemilih terdaftar

Partisipasi Pemilih

Melihat data penyebaran COVID-19, baik jumlah kasus baru, yang sembuh, maupun yang meninggal, penyelenggara Pilkada 2020, baik KPU maupun Bawaslu, harus dengan cermat memetakan berdasarkan rujukan dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, baik ditingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota.

Hal ini penting untuk mengantisipasi sekaligus sebagai rujukan perencanaan di lapangan terkait dengan kondisi daerah yang masing-masing tidak sama dari paparan COVID-19.

Ada daerah yang tergolong berisiko tinggi, berisiko sedang, risiko ringan, dan tidak terdampak.

Dari 49 daerah dengan perincian 9 provinsi dan 40 kabupaten/kota tergolong berisiko tinggi, ini termasuk zona merah yang harus ditangani dengan baik.

Pilkada Serentak 2020 yang akan diselenggarakan di 270 daerah terdiri atas 9 provinsi, 37 kota, dan 224 kabupaten, KPU dan Bawaslu harus tidak sega-segan dan tanpa henti-hentinya selalu konsultasi, komunikasi, dan koordinasi dengan pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 di masing-masing tingkatannya.

Menjawab pertanyaan, apa risiko pelaksanaan Pilkada 2020 masih diliputi pandemi COVID-19? Risiko yang paling fundamental adalah partisipasi pemilih menurun atas kehadirannya di tempat pemungutan suara (TPS).

Baca juga: Mendagri: Penanganan COVID-19 bisa jadi materi sosialisasi pilkada

Konsekuensi apa yang harus diterima oleh penyelenggara pilkada, terutama dari aspek partisipasi? Sejauh mana dan sepenting apa aspek partisipasi dalam pilkada?

Apa pengertian partisipasi politik? Pengertian partisipasi politik adalah semua aktivitas warga negara dalam rangka ikut memengaruhi, baik secara langsung ataupun tidak langsung, kebijakan umum serta penentuan penguasa politik dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat. Dalam konteks pilkada, partisipasi politik adalah ikut menentukan siapa yang menjadi penguasa politik untuk menyelenggarakan pemerintahan sekaligus melayani masyarakat.

Sepenting apa partisipasi politik masyarakat dalam hal ini sebagai pemilih yang mempunyai hak pilih dalam pilkada? Sangat penting.

Partisipasi politik merupakan aspek penting dalam sebuah tatanan negara demokrasi. Partisipasi politik juga merupakan ciri khas adanya modernisasi politik. Hal ini dikaitkan dengan masyarakat tradisional yang sifat kepemimpinan politiknya lebih ditentukan oleh segolongan elite penguasa.

Akibatnya, keterlibatan warga negara dalam ikut serta memengaruhi pengambilan keputusan dan memengaruhi kehidupan bangsa relatif sangat kecil. Warga negara yang hanya terdiri atas masyarakat sederhana cenderung kurang diperhitungkan dalam proses-proses politik.

Konteks di atas dikaitkan dengan pelaksanaan pilkada akan makin nyata ketika partisipasi pemilih untuk datang ke TPS. Bisa jadi menurun ketika masyarakat sekarang ini sedang drop secara psikologis, apalagi kesulitan ekonomi dengan adanya wabah corona.

Padahal, dalam hubungannya dengan demokrasi, partisipasi politik berpengaruh pada legitimasi publik terhadap jalannya pemerintahan. Partisipasi politik juga untuk fungsi kontrol masyarakat terhadap jalannya pemerintahan.

Baca juga: Polda Jatim bentuk Satgas Nusantara amankan Pilkada 2020

Pertanyaannya kemudian akankah pemilihan umum kepala daerah serentak pada tanggal 9 Desember 2020 menghasilkan pemimpin daerah yang berkualitas di tengah pandemik COVID-19 yang diprediksi para ahli kesehatan dunia belum berakhir?

Akankah kehadiran masyarakat yang memiliki hak pilih mencapai persentase tinggi di tengah protokol kesehatan yang ketat sebagai penguat legalitas pemimpin terpilih?

Pertanyaan semacam itu layak diajukan mengingat biaya penyelenggaraan pemilihan kepala daerah langsung tidak sedikit.

Hal yang penting adalah menjaga kesehatan masyarakat melalui pencegahan penyebaran COVID-19 pada satu sisi, sedang sisi lain pemilihan kepala daerah langsung harus berjalan sukses dan menghasilkan kepala daerah yang berkualitas.

Semua pihak, baik penyelenggara, pemerintah, Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, pemilih, mupun pihak-pihak terkait, harus secara bersama fokus pada kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan jika COVID-19 belum berakhir sepenuhnya.

Disiplin terhadap protokol kesehatan ini kaitannya dengan keengganan masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya karena kekhawatiran akan tertular COVID-19. Jangan sampai perhelatan pesta demokrasi tercederai karena ada yang tertular virus corona.

Mencari pemimpin memang mahal, baik materiel maupun nonmateriel. Maka perlu “kolaborasi” antara pelaksanaan pilkada dan protokol kesehatan.

*) Pudjo Rahayu Risan, pengamat kebijakan publik dan pengajar tidak tetap STIE Semarang dan STIE BPD Jateng

Copyright © ANTARA 2020