mengimbangi penurunan konsumsi dan produksi minyak karena penutupan ekonomi dunia dan lockdown
Jakarta (ANTARA) - Emiten perkapalan PT Buana Lintas Lautan Tbk (BULL) memproyeksikan laba bersih sepanjang 2020 akan meningkat hingga 3,5 kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya.

Direktur Utama PT Buana Lintas Lautan Tbk Kevin Wong dalam keterangan persnya di Jakarta, Kamis, mengatakan perseroan akan melanjutkan strategi yang berimbang. Menggabungkan pendapatan usaha dari kontrak time-charter yang stabil dengan marjin laba yang tinggi dari kerjasama dengan operator pool, dan didukung oleh tarif sewa internasional yang tinggi pada kuartal kedua 2020.

Wong menuturkan strategi tersebut mengakibatkan kinerja perusahaan meningkat signifikan dibandingkan kuartal pertama 2020 yang sudah kuat, dan menghasilkan pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) dan laba bersih yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kuartal yang sama pada 2019 dan mencapai titik tertinggi baru.

"Dengan demikian, EBITDA pada tahun 2020 diperkirakan akan melebihi 2,5 kali dari tahun 2019 dan juga laba bersih akan meningkat 3,5 kali lebih tinggi dari tahun 2019," ujar Wong.

Mengingat proyeksi kinerja tersebut, lanjut Wong, nilai pasar BULL saat ini masih belum sepenuhnya mencerminkan kinerja perseroan karena rasio perbandingan harga saham dengan laba bersih per saham (PER) perusahaan tetap 3 - 3,5 kali dan EV/EBITDA 3,5 - 4 kali.

Hasil yang lebih baik itu disebabkan oleh pertumbuhan armada yang berkelanjutan pada kuartal kedua 2020 di mana BULL menerima tiga kapal besar tambahan, yang mengembangkan armada menjadi 33 kapal dengan total kapasitas sebesar 2,3 juta DWT.

Menurut Wong, faktor lain yang meningkatkan kinerja BULL adalah dampak positif dari pandemi COVID-19.

Pandemi COVID-19 telah menghasilkan peningkatan yang signifikan dalam permintaan tambahan untuk kapal tanker minyak untuk tempat penyimpanan minyak terapung dan sempat mencapai titik tertinggi di mana lebih dari 400 kapal tanker digunakan untuk penyimpanan minyak terapung pada puncaknya, yang merupakan sekitar 10 persen dari armada tanker global.

"Ini lebih dari mengimbangi penurunan konsumsi dan produksi minyak karena penutupan ekonomi dunia dan lockdown," kata Wong.

Dinamika tersebut tercermin dalam tingkat Time Charter Equivalent (TCE) yang melonjak di kuartal kedua 2020 dari tarif sewa rata-rata yang sudah cukup tinggi pada kuartal pertama 2020.

TCE rata-rata untuk kapal tanker Long Range 2 (LR2) (kapal tanker ukuran sekitar 110,0000 DWT) meningkat sebesar 74,8 persen sedangkan TCE rata-rata untuk kapal tanker handy (kapal tanker ukuran sekitar 30,000 - 40,000 DWT) turun menjadi 11,6 persen, sejalan dengan tren sebagian besar permintaan penyimpanan minyak terapung terkonsentrasi di segmen kapal tanker yang lebih besar.

Namun, menurut Wong, dampak COVID-19 lebih luas daripada hanya pada konsumsi dan produksi minyak. Karena sebagian besar ekonomi dunia memasuki masa lockdown dan pelabuhan-pelabuhan tidak beroperasi, termasuk semua negara pembangun kapal dan reparasi kapal terbesar, seperti China, Korea, Jepang, Singapura, yang menyebabkan penundaan pengiriman kapal baru yang sedang dibangun serta docking pemeliharaan yang diharuskan berdasarkan peraturan.

Hal itu mengakibatkan antrian besar kapal yang harus melaksanakan docking pemeliharaan dan berhenti kerja sampai lebih dari 30 hari dalam beberapa bulan ke depan, setara dengan 5 persen dari armada tanker global.

Bahkan selama Juni saja jumlah kapal yang sedang melaksanakan pemeliharaan 84 persen lebih banyak daripada Mei 2020. Sebanyak enam kapal Very Large Crude Carrier (VLCC) sedang melaksanakan pemeliharaan selama Juni dibandingkan dengan hanya satu pada Mei.

Baca juga: Emiten perkapalan BULL beli kapal "midcycle" untuk optimalkan profit
Baca juga: BEI: Laba bersih emiten tahun lalu hanya Rp8 triliun, turun 2 persen
Baca juga: BEI realistis jumlah emiten baru tak sebanyak tahun sebelumnya

 

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2020