Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi III DPR, Trimedya Panjaitan, menyatakan bahwa sebaiknya semua pihak memberikan kesempatan kepada Polri untuk menyelesaikan berkas penyidikan kasus Bibit-Chandra.

"Jika setelah itu, Polri tidak juga menyelesikan berkas penyidikan maka jalan terbaik adalah penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3)," kata Trimedya di Jakarta, Rabu.

Ia menyatakan, berkas Chandra saat ini direvisi oleh penyidik Polri untuk yang ketiga kali setelah dikembalikan oleh Kejaksaan Agung.

Menurut dia, agar ada kepastian hukum, maka Polri tidak perlu ragu untuk menerbitkan SP3 jika berkas nantinya dikembalikan lagi oleh Kejaksaan Agung.

Demikian juga dengan berkas Bibit yang kini dikembalikan ke Polri oleh Kejaksaan Agung.

"Harus ada batas waktu yang pasti berapa lama penyidikan itu berjalan di kepolisian. Kalau di KPK, kan waktunya 90 hari. Dengan batasan waktu itu, maka satu kasus dapat diselesaikan sesuai dengan batasan waktu," katanya.

Ia mengakui bahwa hingga kini belum ada aturan yang membatasi waktu penyidikan namun demi kepastian hukum, Polri seharusnya membuat batasan waktu yang jelas.

"Dengan tidak ada batasan waktu penyidikan maka berkas bisa bolak-balik hingga belasan kali dan membutuhkan waktu beberapa tahun. Ini tidak boleh dibiarkan terus," katanya.

Ia mengatakan, bolak-balik berkas hingga berkali-kali tersebut membuka peluang makelar kasus untuk bermain sebagaimana yang terjadi selama ini.

"Jika bolak balik berkas ditetapkan maksimal hanya tiga kali, maka peluang makelar kasus akan sempit karena sudah pasti akan ada SP3 jika berkas dikembalikan tiga kali," katanya.

Ia mengharapkan agar pembatasan waktu penyidikan dan bolak-balik berkas itu dimasukkan dalam revisi KUHAP dan KUHP yang kini masih digodok oleh pemerintah.

Pada bagian lain, Trimedya tidak setuju jika dalam kasus ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan Kapolri untuk menerbitkan SP3 atau Jaksa Agung untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP).

"Jika Presiden melakukan itu, maka itu bentuk intervensi hukum oleh Presiden. Ini tidak boleh terjadi dan bisa menjadi preseden buruk pembangunan hukum," kata politisi dari PDI Perjuangan itu.

Ia mengatakan, intervensi Presiden dengan menyuruh Kapolri dan Jaksa Agung untuk menghentikan perkara juga melanggar prinsip-prinsip negara berdasarkan hukum.

Sebelumnya, Polri menetapkan dua pimpinan nonaktif KPK yakni Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah sebagai tersangka kasus penyalahgunaan wewenang dan suap.

Namun, sejumlah tokoh nasional dan masyarakat menentang hal itu karena diyakini ada unsur rekayasa sehingga membuat Presiden Yudhoyono membentuk tim untuk melakukan verifikasi atau dikenal dengan Tim Delapan.

Salah satu rekomendasi Tim Delapan adalah agar Polri dan Kejaksaan Agung menghentikan penyidikan dan penuntutan kasus itu karena alat bukti lemah.
(*)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009