Jakarta (ANTARA) - Di antara sederet alasan yang bisa menempatkan anak pada gejala depresi dan kecemasan, tekanan akademis dan ekspektasi orang tua adalah penyebab paling umum, menurut Co-founder Ubah Stigma, Asaelia Azeela.

"Kebanyakan yang kami temukan anak dengan gejala depresi dan kecemasan. Kebanyakan stressor dari tekanan akademis, ekspektasi orang tua dan keluarga, atau masalah keluarga," ujar dia dalam webinar #HaloTalks, Kamis (23/7).

Asaelia mengatakan, dampak tekanan ini anak menjadi cenderung kehilangan konsentrasi saat belajar dan berujung performa akademik yang menurun. Ini karena mereka terlalu fokus dibayangi pikiran dan perasaan yang mereka rasakan dan tidak tahu bagaimana cara mengatasinya.

Baca juga: Kenali ciri anak sehat secara mental

Baca juga: Mengapa ada anak tak punya cita-cita?


Di sisi lain, mereka juga kurang didampingi orang tua sehingga kesulitan meregulasi emosi dan ini berdampak pada interaksi sosial mereka, bahkan hingga menyakiti diri.

"Mereka cenderung memiliki keperibadian tertutup, merasa ada yang salah dengan dia. Banyak kasus yang kami temukan menjadi menyakiti diri sendiri secara fisik," kata dia.

Terkait masalah ini, psikolog anak dari Ikatan Psikolog Klinis Indonesia, Annelia Sani Sari mengingatkan, saat anak diketahui mengalami gejala masalah mental semisal depresi, orang tua dan dewasa di sekitar anak perlu segera membantu mengatasinya.

"Masalah mental yang tidak segera atasi bisa berlanjut dan membesar di kemudian hari. Kemudian yang tadinya area masalah terkait belajar misalnya, dia akan menyentuh ke area lain seperti emosi, sosialisasinya dan ini akan menjadi masalah yang kemudian kompleks dan akhirnya menjadi gangguan mental yang besar," ujar dia.

Masalah mental yang tak segera diatasi bisa menyebabkan anak sukar pulih, mendapatkan stigma buruk dari lingkungan sekitarnya, terhambat untuk mendapatkan akses layanan kesehatan dan pendidikan.

Mereka juga rentan terhadap gangguan perilaku atau gangguan psikologis yang lebih serius dan berat, mengalami keterlambatan perkembangan serta sulit mencapai kualitas hidup yang baik dan produktif.

Hanya saja, menurut Anne seringkali orang tua dan dewasa di sekitar anak tak sadar ada masalah pada anak mereka, karena umumnya gangguan mental pada masa anak sifatnya silent atau tidak diketahui.

"Sulit dibedakan antara sebuah fluktuasi perilaku saja atau gangguan. Untuk mengenalinya perlu suatu usaha," kata dia.

Baca juga: Ponsel dapat menganggu kesehatan mental anak usia dini

Baca juga: Perhatikan ini bila unggah foto anak di media sosial


Sementara pengetahuan yang dimiliki orang tua, tenaga kesehatan jiwa terbatas, ditambah banyak kepercayaan di masyarakat misalnya "enggak apa-apa anak laki-laki enggak bisa diam", padahal mungkin ada gangguan hiperaktivitas atau gangguan pemusatan perhatian.

"Atau 'anak laki-laki biasa kok lebih pemarah, lebih senang berantem'. Kita enggak tahu kalau itu mungkin gangguan kenakalan remaja atau sifatnya pembangkangan," tutur Anne.

Untuk bisa mendeteksi dan menggali jika ada masalah yang anak hadapi, orang tua bisa mencoba banyak mengobrol dengan anak. Cobalah saling berbagi apa yang sedang dirasakan sembari mengeluarkan berbagai kecemasan.

"Orang tua dan keluarga perlu bentuk zona nyaman anak bisa bercerita tanpa dihakimi, disalahkan," kata dia.

Setelah itu, berikan kepercayaan pada anak kalau ada jalan keluar dari semua masalah.

Baca juga: Anak juga bisa stres karena sekolah dari rumah, atasi dengan bermain

Baca juga: Psikolog: orang tua tak perlu memaksakan diri jadi guru

Baca juga: Stres saat pandemi, bukan alasan untuk lakukan kekerasan pada anak

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2020