Kenapa kartu debit dan kredit pertumbuhannya relatif lambat dari sisi untuk pembelanjaan...biayanya mahal. Tapi tidak ada campur tangan pemerintah atau BI selaku regulator...
Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Umum Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) Rico Usthavia Frans menilai sistem pembayaran harus dilihat sebagai infrastruktur nasional yang juga membutuhkan campur tangan pemerintah dan tidak hanya diserahkan kepada pelaku industri saja.

"Apakah sistem pembayaran nasional ini dianggap sebagai national infrastructure atau tidak. Kita tahu pelabuhan, jalan tol, bandara, itu adalah national infrastructure, artinya pemerintah memang mengalokasikan dana untuk membangun infrastruktur tersebut sedemikian rupa sehingga last miles-nya juga bisa dinikmati oleh pelaku industri," ujar Rico dalam sebuah diskusi daring di Jakarta, Sabtu.

Menurut Direktur Teknologi Informasi Bank Mandiri itu, sistem pembayaran merupakan infrastruktur yang tidak kasat mata. Sistem pembayaran bukan infrastruktur yang bisa gampang dilihat, namun sangat diperlukan.

Baca juga: BI ingin percepat digitalisasi sistem pembayaran UMKM via QRIS

"Kenapa kartu debit dan kredit pertumbuhannya relatif lambat dari sisi untuk pembelanjaan, karena isunya di-acceptance, biayanya mahal. Tapi tidak ada campur tangan pemerintah atau BI selaku regulator untuk betul-betul mendorong itu sebagai investasi nasional," kata Rico.

Rico menganalogikan bus Transjakarta yang merupakan fasilitas transportasi kota dan dibiayai oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pemda mengalokasikan dana untuk membangun jalan dan juga dana untuk penyedia jasa bus, sehingga biaya yang sampai ke masyarakat itu bisa diterima dan dibayarkan oleh masyarakat di kisaran Rp3.000 hingga Rp5.000.

"Tapi apakah penyedia busnya dibayar berdasarkan Rp5.000 tadi, pasti tidak. Karena harus ditambah subsidi dari pemda baru bisa jadi sesuatu yang komersial. Misalnya penyediaan EDC, satu kali transaksi di EDC sekitar Rp 2.900, sementara transaksi kita kalau kita pakai QRIS dibayarnya cuma 0,7 persen. 0,7 persen kalau dikali Rp50 ribu, mungkin cuma Rp300-Rp500. Jadi setiap kali transaksi bukannya untung malah rugi," ujar Rico.

Baca juga: Lebih untung buat pedagang kecil, tarif Kode QR hanya 0,7 persen

Rico menilai hal tersebut merupakan bagian yang perlu dipikirkan dan tidak bisa diselesaikan oleh pemain-pemain komersial sehingga harus dibawa ke Bank Indoensia dan pemerintah sistem pembayaran mau dibawa kemana.

"Kalau kita mau financial inclusion kita cepat, maka pemerintah harus turun tangan membuat kebijakan investasi di infrastruktur sistem pembayaran nasional," katanya.

Bank Indonesia selaku otoritas sistem pembayaran tengah melakukan transformasi Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) menjadi BI Fast Payment (BI Fast) yang bertujuan agar sistem pembayaran semakin efisien.

Baca juga: BI lakukan penyempurnaan kliring permudah sistem pembayaran

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2020