Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi I DPR RI Bobby Adhityo Rizaldi menyebut Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) tak lindungi data agregat bisa menjadi kontradiksi cita-cita Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menjadikan data sebagai kekayaan baru (new oil).

"Kami enggak tahu lah, apa salah mengejawantahkan apa yang diinginkan Presiden," kata Bobby dalam diskusi daring dengan Komisi Informasi (KI) Pusat, Senin.

Menurut Bobby, berdasarkan pernyataan Jokowi bahwa data adalah kekayaan baru (new oil), berarti data yang dilindungi itu adalah data agregat, yaitu data bernilai komersil yang dapat diolah untuk berbagai kepentingan.

"Kalau namanya data agregat yang sudah termodifikasi, seperti contohnya data perilaku konsumen. Kalau di-googling saja, kita melihat kasus kebocoran data pribadi yang terbesar di dunia, yang ada 15 itu, semuanya adalah data yang tidak teridentifikasi langsung tapi data perilaku konsumen yang ada di perusahaan-perusahaan besar, perusahaan terbuka, dan perusahaan swasta. Mereka harus membayar dalam jumlah besar kepada publik," kata Bobby.

Baca juga: DPR ungkap tantangan DPR selesaikan RUU PDP

Namun, menurut dia, spirit RUU PDP untuk melindungi data publik yang dikelola oleh negara, seperti data administrasi kependudukan, data imigrasi, dan sebagainya,justru menyentuh ranah pribadi perorangan.

Jika seperti itu, maka RUU PDP itu harus memiliki wasit yang dapat memutuskan perkara terkait mana yang masuk data pribadi dan mana yang masuk data agregat, jika terjadi kebocoran data di Indonesia.

"Siapa yang memutuskan bahwa ini adalah data pribadi yang dilindungi oleh Undang-Undang (RUU PDP), mana data yang tidak termasuk data pribadi tetapi data agregat. Jadi ada yang mau menjadi hakim di sini. Nah inilah sumber rancunya, bingungnya, UU ini," kata Bobby.

Bobby mengatakan tantangan utama RUU PDP saat ini adalah agar apa yang diinginkan Presiden Jokowi dari RUU PDP itu dapat terwujud.

Karena itu, katanya, sebelum melangkah jauh dalam pembahasan batang tubuh RUU, penerapan hukum, cara memonitor komersialisasi dan penyalahgunaan lain-lain, pilihan politik data pribadi yang harus dilindungi itu harus dulu jelas konsep dan definisinya.

Baca juga: Peneliti: RUU PDP tingkatkan transparansi pelaporan pelanggaran data

"Kalau misalnya data agregat itu, data modifikasi yang ada di platform komersial, itu dikecualikan dari data pribadi, data dengan tujuan ada inovasi dan monetisasi, itu dikecualikan dari perlindungan negara, ya RUU ini sudah selesai," kata Bobby.

Tapi, menurut Bobby, ada juga publik yang khawatir jika perlindungan terhadap data agregat, seperti data perilaku konsumen di platform komersial itu, tidak memiliki payung hukum dan perlindungan terhadap mereka.

"Mereka khawatir jangan sampai ada diombang-ambing kepastian tersebut dipegang oleh satu lembaga, misal lembaga pemerintah atau lembaga yang tidak ada keterwakilan dari mereka. Nah inilah yang paling pertama kita perlu posisi politik dulu, bagaimana kita mengejawantahkan maunya Presiden," kata Bobby.

Bobby menilai Presiden ingin komersialisasi terhadap data agregat seperti data perilaku konsumen itu, diatur oleh negara. Namun, jika memang RUU PDP tidak menghendaki mengenai perlindungan data agregat dimasukkan dalam data pribadi yang dilindungi, maka DPR dan Pemerintah bisa duduk bersama untuk memfokuskan jenis data yang dilindungi di RUU PDP itu seperti apa.

"Jangan sampai, data agregat ini bisa dijual-belikan. Misal, orang Indonesia sukanya minum kopi apa. Lantas di mana wilayah yang paling banyak konsumen online? Nah itu perlu kita tetapkan posisi politiknya dulu, baik dari pemerintah dan DPR. Oleh karena itu, di sini kami minta masukan publik, bisa enggak data agregat dimasukkan dalam itu," kata Bobby.

Baca juga: Kenapa perlu perlindungan data pribadi ?

Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2020