Karena terdampak pandemi, Apjatel berharap pemerintah daerah yang mengatur penggunaan utilitas publik untuk tidak memperberat operator telekomunikasi yang tengah menghadapi masa sulit.
Jakarta (ANTARA) - Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (Apjatel) menilai Rancangan Perubahan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta tentang Jaringan Utilitas berpotensi menambah beban industri yang tengah mengalami kesulitan pada masa pandemi COVID-19.

Ketua Umum Apjatel Muhammad Arif mengatakan akibat pandemi, beban operasional penyelenggara jaringan dan operator telekomunikasi mengalami peningkatan yang signifikan. Meski trafik data mengalami kenaikan, namun saat ini banyak anggota Apjatel dan penyelenggara telekomunikasi mengalami tekanan.

"Karena terdampak pandemi, Apjatel berharap pemerintah daerah yang mengatur penggunaan utilitas publik untuk tidak memperberat operator telekomunikasi yang tengah menghadapi masa sulit," ujar Arif dalam keterangan di Jakarta, Rabu.

Baca juga: BRTI soroti rencana Pemprov DKI atur jaringan utilitas telekomunikasi

Arif menuturkan beban operasional operator telekomunikasi seperti membayar bandwidth mengalami kenaikan yang signifikan selama pandemi. Sementara, harga layanan internet relatif tak berubah.

"Pada masa PSBB kemarin mayoritas penyelenggara jaringan telekomunikasi terdampak. Work from home dan distance learning membuat sebagian besar operator penyelenggara jasa telekomunikasi menghentikan kegiatannya, sebab sekolah dan tempat komersial berhenti beroperasi. Karena berhenti beroperasi penggunaan internet juga tak ada," kata Arif.

Beberapa waktu yang lalu, Apjatel, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), dan Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) telah mengirimkan surat kepada Menkominfo dan Menteri Keuangan agar dapat diberikan insentif pada masa pandemi.

"Jika beban operasional kami mengalami kenaikan akibat regulasi, ujung-ujungnya masyarakat yang akan terkena dampaknya. Kami mengharapkan pemerintah pusat dapat segera turun membenahi regulasi yang ada di daerah," ujar Arif.

Baca juga: Apjatel: Berbagi jaringan berpotensi timbulkan persaingan tak sehat

Menurut Arif, perubahan aturan tentang jaringan utilitas oleh pemda memang ditujukan untuk menata jaringan utilitas yang saat ini semrawut, khususnya kabel udara. Namun peraturan daerah ini justru membuat ekonomi biaya tinggi, apalagi di masa pandemi.

Padahal Presiden Jokowi menginginkan investasi tumbuh dan menekan ekonomi biaya tinggi. Hal ini bertolak belakang dengan rencana pemerintah pusat.

Arif menilai regulasi yang tak sinkron ini bukan hanya terjadi di Jakarta. Pemerintah Kota Surabaya beberapa waktu yang lalu juga membuat regulasi serupa yang dinilai berpotensi memberikan beban tambahan kepada operator telekomunikasi.

Akibat banyaknya regulasi yang tak sinkron, pada akhir 2019 Apjatel melakukan judicial review ke Mahkamah Agung dengan no pendaftaran 13P/HUM/2020 tanggal 6 Januari 2020 untuk meninjau Permendagri 19 tahun 2016.

Baca juga: Kominfo akan buat Pusat Monitoring Telekomunikasi Nasional

Gugatan tersebut dilayangkan Apjatel dikarenakan banyak multitafsir mengenai hak dan harga sewa lahan di badan jalan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan tidak terdapat keseragaman perhitungan yang diserahkan sepenuhnya ke pemerintah daerah.

Padahal saat ini layanan internet yang melalui kabel fiber optic yang dipasang operator telekomunikasi merupakan kebutuhan dasar masyarakat di saat pandemi.

"Apjatel menyayangkan ketika internet sudah merupakan kebutuhan dasar dari masyarakat dijadikan obyek pendapatan oleh pemerintah daerah. Tentu ini kontradiktif dengan semangat “Making Indonesia 4.0” yang didengungkan Bapak Presiden," ujar Arif.

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2020