perencana keuangan ini juga berperan sebagai manajer investasi
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ira Aprilianti mengharapkan adanya regulasi yang jelas untuk memberikan panduan maupun ruang lingkup kerja yang memadai bagi profesi perencana keuangan.

"Belum adanya regulasi yang mengatur aktivitas perencana keuangan inilah, salah satunya, yang membuat koridor kerja mereka tidak jelas," kata Ira di Jakarta, Rabu.

Ira mengatakan regulasi itu perlu agar perencana keuangan mempunyai kewenangan dan kewajiban yang jelas, ruang lingkup dan kode etik serta pertanggungjawaban dan pengawasan melalui peran asosiasi.

Menurut dia, maraknya kasus perencana keuangan tidak berizin belakangan ini tentu merusak kepercayaan terhadap perencana keuangan dan pasar keuangan.

Kasus tersebut juga didukung oleh literasi keuangan di Indonesia yang masih lemah, atau hanya tercatat pada tingkat 38,03 persen, yang berarti hanya 38 orang dari 100 orang paham lembaga keuangan.

Selain itu, tambah dia, kasus itu muncul karena perencana keuangan belum diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan, dan hanya melalui proses sertifikasi oleh lembaga sertifikasi profesi.

"Pada kasus yang ramai diperbincangkan, perencana keuangan ini juga berperan sebagai manajer investasi. Padahal keduanya memiliki fungsi yang berbeda," katanya.

Untuk itu, ia merekomendasikan adanya penyiapan peraturan atau surat edaran OJK yang mengatur kewenangan dan kewajiban profesi perencana keuangan.

Kemudian, menurut dia, OJK dapat melakukan co-regulation atau memberikan kewenangan asosiasi terkait proses rekomendasi maupun perizinan anggota yang ingin membuka jasa perencana keuangan.

"Koordinasi antara OJK dan asosiasi tersebut dapat memudahkan dalam mengawasi dan mengkonsolidasi laporan konsumen atau pengguna jasa serta memitigasi risiko," kata Ira.

Terkait co-regulation, ketentuan ini dapat membantu masyarakat dalam mengidentifikasi perencana keuangan yang mempunyai keahlian, sertifikasi maupun pengalaman sesuai standar etika dan profesi.

"Asosiasi dan OJK dapat mencabut izin perencana keuangan serta mensosialisasikannya pada masyarakat jika terbukti bertindak tidak sesuai peraturan yang diatur," ujarnya.

Dengan adanya syarat ini, maka asosiasi dapat membuat daftar hitam, tervalidasi melalui pemanggilan atau investigasi, yang berisikan perusahaan atau individu yang pernah terlibat dengan kasus dengan para klien.

Terakhir, menurut Ira, asosiasi dan OJK harus menyediakan akses pengaduan untuk pengguna jasa agar laporan perencana keuangan yang tidak berizin atau tidak sesuai standar dan etika dapat ditindaklanjuti.

Asosiasi yang telah diberikan wewenang dan tanggung jawab dapat menerima laporan dari pengguna jasa, menginvestigasi, dan memberikan sanksi pada anggotanya yang terbukti tidak profesional.

"Di sisi lain, asosiasi dan pemerintah dapat memberikan perlindungan terhadap reputasi profesi tersebut jika yang bersangkutan sudah memberikan jasa sesuai dengan standar dan kode etik yang berlaku," katanya.

Baca juga: Satgas Investasi setop Jouska dan dua rekanan perusahaan tak berizin
Baca juga: Manajer investasi ingatkan risiko pandemi yang belum melandai
Baca juga: Pakar: Pengembalian dana Jiwasraya oleh MI bisa timbulkan masalah

Pewarta: Satyagraha
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2020