Jakarta (ANTARA News) - Bila tidak ada aral melintang, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, esok Minggu (13/12), bertolak ke Eropa untuk mengunjungi empat negara sekaligus menghadiri Konferensi PBB tentang perubahan iklim di Kopenhagen, Denmark.

Meski agenda kunjungan ke Belgia, Prancis dan Jerman tak bisa dipandang remeh karena menyangkut peningkatan hubungan kerjasama di berbagai bidang antara negara-negara itu dengan Indonesia, tidak pelak kehadiran Presiden pada Konferensi Iklim di ibukota Denmark itu menjadi "jantung" kunjungan kerja Kepala Negara kali ini.

Yudhoyono mengharapkan konferensi perubahan iklim di Kopenhagen menghasilkan kesepakatan positif dan kuat untuk menggantikan Protokol Kyoto.

"Kita ingin menyusun sejarah baru di Kopenhagen untuk mengganti Protokol Kyoto," kata Presiden.

Rangkaian pertemuan yang diprakarsai Perserikatan Bangsa Bangsa dan sejumlah negara yang dimulai dari pertemuan Bali, lalu Poznan di Polandia dan kemudian Kopenhagen itu penting bagi Indonesia karena di Bali, Indonesialah, muncul kesepakatan mengenai "Peta Jalan Bali" atau "Bali Roadmap" menuju terbentuknya kesepakatan baru pasca Protokol Kyoto 2012 mendatang.

Perubahan iklim, kata Presiden dalam sejumlah kesempatan, bila tidak dikelola dengan baik akan berdampak buruk kepada seluruh negara termasuk bahaya gagal panen, hilangnya pulau-pulau dari negara yang memiliki gugusan pulau dan ancaman cuaca ekstrem yang membahayakan nyawa manusia dan ekologi.

Yudhoyono menyatakan, bila tidak ada kesepakatan bersama untuk menghadapi perubahan iklim, maka pada 2100 diperkirakan tinggi permukaan air laut akan naik 1,5 meter. Selain itu, muncul ancaman perubahan musim yang menciptakan musim kemarau atau hujan berkepanjangan.

"Maka, kita harus lakukan pemotongan pada emisi karbon. Sejumlah pemimpin negara akan datang. Lebih baik kita punya plan of action (rencana aksi) yang mampu dicapai 26 persen, misalkan dari hutan, bahan bakar minyak di kontrol, transportasi," tegasnya.


Tarik ulur

Meski sudah berlangsung dua putaran sejak di Bali hingga Kopenhagen, bukan berarti pembicaraan mengenai kontribusi dan apa yang harus dilakukan negara-negara di dunia dalam menghadapi perubahan iklim dan pemanasan global, menjadi mudah.

Tarik ulur kepentingan dari masing-masing negara terasa sejak awal berlangsungnya Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-15 Perubahan Iklim pada 7 Desember 2009.

Sudan mewakili Kelompok 77 Negara Berkembang (G77) dan China dengan tegas menolak kewajiban negara berkembang dalam kesepakatan yang akan dihasilkan di COP-15 itu.

Mereka juga menegaskan hasil kesepakatan harus sesuai dengan mandat Bali Action Plan (BAP) yang menempatkan shared vision sebagai arah aksi kerja sama jangka panjang bagi stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca.

Oleh karena itu, negara maju harus menjamin mitigasi, sementara negara berkembang akan berkontribusi dalam mengurangi emisi gas rumah kaca melalui pembangunan ekonomi rendah karbon.

Pendapat ini didukung Aljazair yang mewakili Kelompok Negara Afrika, Lesotho yang mewakili Kelompok "Least Developed Countries" (LDC), dan Grenada yang mewakili "Alliance of Small Island States (AOSIS).

Meksiko mewakili "Environmental Integrity Group" (EIG) juga mendukung penuntasan proses yang telah dimandatkan oleh BAP.

EIG juga menyokong tercapainya kesepakatan yang mengikat secara hukum dan perlunya Protokol Kyoto tetap dilanjutkan.

Australia yang mewakili "Umbrella Group" (Australia, Kanada, Islandia, Jepang, Selandia Baru, Norwegia, Federasi Rusia, Ukraina and Amerika Serikat) juga mengharapkan KTT ke-15 Perubahan Iklim menghasilkan aksi tegas dengan memaksimalkan kredibilitas dan mengakui kajian ilmiah yang menyatakan kenaikan temperatur bumi tidak melebih 2 derajat C per tahun.

Swedia mewakili Kelompok Negara Eropa menyatakan komitmen negara-negara Eropa untuk mencapai hasil ambisius dan mengikat secara hukum yang mencakup semua "building blocks" dan tindakan segera, serta perlunya Protokol Kyoto dilanjutkan.

Indonesia sendiri mengharapkan ada keputusan Kopenhagen berisi ketersediaan dana sekitar 35 miliar dolar AS bagi penanggulangan perubahan iklim global.

"Kita menginginkan adanya dana sekitar 20 sampai 35 miliar dolar AS per tahun mulai 2010 sampai 2020. Ini merupakan janji internasional, tetapi tidak membatasi bagi negara untuk mencari dana secara bilateral," kata Kepala Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), Agus Purnomo dalam keterangan pers di Kopenhagen, Rabu (9/12).

Dia mengatakan, dana 35 miliar dolar AS itu berasal dari negara-negara industri yang wajib menurunkan tingkat emisi (negara Annex-1 Protokol Kyoto). Dana ini akan digunakan oleh negara-negara berkembang dan negara miskin untuk menanggulangi perubahan iklim, dari mitigasi, adaptasi, alih teknologi, sampai peningkatan kapasitas.

Mengacu pada studi Konvensi Badan Dunia untuk Perubahan Iklim (UNFCCC), Indonesia setuju bahwa kebutuhan pendanaan untuk adaptasi global paling kurang 67 miliar dolar AS. Sumber pendanaan harus dari dana publik negara maju yang besarnya 0,7 - 1,5 persen dari Produk Domestik Bruto, di luar dana yang dialokasikan untuk Bantuan Pembangunan Luar Negeri.

Tersedianya dana negara maju ini menjadi bukti komitmen mereka dalam memenuhi tanggung jawab sejarah sebagai pengguna dan pencemar atmosfer dan terhadap kesepakatan pemimpin-pemimpin dunia yang telah dituangkan dalam Konvensi UNFCCC.


Optimistis

Kabar terakhir dari Kopenhagen, Jumat, Delegasi Indonesia telah menerima naskah draf keputusan KTT ke-15 (COP) Perubahan Iklim di Kopenhagen.

Mengenai keluarnya tiga draf naskah keputusan persidangan, Pungki mengatakan perundingan sudah jauh lebih maju dibandingkan hari sebelumnya yang memanas karena perbedaan pendapat dari negara-negara peserta.

Bila perundingan lancar, maka hasil pembahasan akan dibawa ke sidang pleno AWG-LCA dan AWG-KP untuk nantinya disahkan pada pertemuan tingkat menteri mulai Selasa mendatang (15/12).

Perkembangan ini memberikan cukup optimisme bahwa KTT ini akan membawa hasil yang positif, sama seperti harapan Presiden Yudhoyono.

Kepala Negara saat menerima peserta kursus Lemhannas di Istana Negara pekan lalu mengungkapkan optimistis bahwa kesepakatan bersama untuk melakukan sejumlah hal demi mengatasi dampak buruk perubahan iklim, bisa dicapai.(*)

Oleh Panca Hari Prabowo
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009