Jakarta (ANTARA) - Kementerian Sosial mengutamakan pendekatan berbasis keluarga untuk menangani korban penyalahgunaan napza (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif) karena keluarga jadi tempat terbaik untuk memenuhi kebutuhan fisik dan psikis.

"Kemensos melihat Pentingnya membangun strategi rehabilitasi sosial berbasis keluarga, karena survei menunjukkan bahwa keluarga bisa menjadi instrumen dalam upaya rehabilitasi sosial dan pencegahan, agar muncul resiliensi dari anggota masyarakat itu sendiri," kata Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial Harry Hikmat dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Rabu.

Harry merujuk salah satu hasil survei yang menunjukkan bahwa para korban penyalahgunaan napza sebagian besar orang tuanya masih hidup, baik di perkotaan atau pedesaan serta berada di lingkungan yang memberikan upaya pencegahan, melarang, menasehati atas kemungkinan menggunakan narkoba. Kedekatan antara orang tua dan anak masih terjalin baik.

Sebagian besar pengguna narkoba masih tinggal bersama keluarga. Artinya, seseorang itu terpapar narkoba sangat dimungkinkan karena upaya untuk mencegah, mengontrol, mengawasi perilaku anggota keluarga tidak optimal.

Baca juga: Peran keluarga faktor penting keberhasilan rehabsos korban napza

Baca juga: Kemensos gandeng BNN perkuat rehabilitasi napza


Harry pada kegiatan Diklat Konselor Adiksi Putaran I Tahun 2020 yang diselenggarakan Balai Besar Pendidikan Dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS) Padang secara daring mengatakan rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan napza dilakukan agar mereka mampu melaksanakan fungsi sosialnya.

"Narkotika menjadi musuh bersama karena sangat mempengaruhi sikap dan perilaku korban yang terpapar napza," kata Harry.

Dia menjelaskan, ada tiga faktor yang saling terkait yang mempengaruhi perilaku penyalahguna napza, pertama faktor Individu seperti ingin coba-coba, ikut-ikutan, Ingin disebut pemberani, supaya diterima kelompok, bersenang-senang, lari dari masalah, mengisi kebosanan dan lemah kemampuan menghadapi tekanan hidup.

Kedua, faktor lingkungan masyarakat seperti lingkungan permisif, apatis, individualis, tingkat kepadatan penduduk melampaui batas kelayakan huni (fisik, psikis dan sosial), sistem pengawasan di sekolah longgar dan kebijakan terlalu lemah terkait penyalahgunaan narkoba.

Ketiga, faktor keluarga yaitu orangtua terlalu keras atau terlalu permisif, terlalu sibuk, tidak harmonis, orang tua yang juga pemakai dan komunikasi antar anggota keluarga tidak lancar.

"Tantangan bagi kita semua dan para Konselor Adiksi untuk lebih giat mempromosikan berbagai upaya pencegahan maupun upaya rehabilitasi sosial bagi yang sudah terlanjur terpapar narkoba. Upaya tersebut bisa dengan cara menginformasikan keberadaan pusat-pusat layanan rehabilitasi sosial," ujar Harry.*

Baca juga: Yayasan Bersemi Gorontalo bantu rehabilitasi pecandu Napza

Baca juga: Loka Rehabilitasi Sosial Napza di Takalar bakal diresmikan Mensos

Pewarta: Desi Purnamawati
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020