Jakarta (ANTARA News) - Indonesia akan mengalami defisit dan bisa mengimpor minyak sebanyak tiga juta barel lebih per hari di tahun 2019.

Perhitungan tersebut disampaikan Ketua Asosiasi Perusahaan Migas Nasional, Effendi Siradjuddin, dalam seminar "Energy Outlook: Quo Vadis Production Sharing Contract Extension" yang diselenggarkan Perum Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA.

Pernyataannya tersebut tentu tidak terdengar mengancam bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, jika tidak diikuti oleh pernyataan berikutnya tentang prediksi harga minyak dunia dalam satu hingga dua tahun ke depan.

"Tren kebutuhan minyak dunia akan terus meningkat, karena itu saya rasa dalam waktu satu hingga dua tahun ke depan harga minyak akan mampu mencapai 100 dolar AS per barel. Ini bisa jadi ancaman buat Indonesia," ujar dia.

Saat ini, Effendi memperhitungkan bahwa produksi minyak Indonesia mencapai 920.000 barel per hari. Jumlah produksi tersebut telah mengalami penurunan sekitar 50 persen hanya dalam jangka waktu 10 tahun terakhir.

Celakanya lagi jumlah tersebut masih harus dipotong untuk bagi hasil dengan perusahaan-perusahaan minyak asing dan untuk "cost recovery" (biaya pemulihan), sehingga tidak mengherankan 85 persen produksi minyak Indonesia saat ini dikuasai oleh pemodal asing.

"Dari sembilan ratusan ribu barel per hari itu 50 persen dibawa keluar negeri. Kan sebagian besarnya memang milik asing," katanya.

Mantan anggota DPD, Marwan Batubara menjelaskan hal yang hampir sama bahwa di tahun 2007 lalu produksi minyak mentah Indonesia mencapai 348 juta barel, dimana 135 juta barel telah diekspor sebagai tambahan devisa.

Sedangkan untuk mencukupi kebutuhan di dalam negeri, pemerintah mengimpor minyak mentah sebanyak 118 juta barel dan bahan bakar minyak (BBM) sebanyak 140 juta barel.


Kebutuhan Dalam Negeri

Saat ini kebutuhan minyak mentah di dalam negeri mencapai 1,4 juta barel per hari. Dengan produksi yang hanya mencapai 920.000 barel per hari, dan kebutuhan ekspor 50 persen dari produksi, maka defisit minyak mentah untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri mencapai sekitar 900.000 barel per hari.

Saat Effendi Siradjuddin menegaskan bahwa Indonesia akan mengimpor minyak mentah sebanyak tiga juta barel per hari, secara sederhana ia memperhitungkan peningkatan kebutuhan minyak di dalam negeri tersebut berdasarkan pada pertumbuhan otomotif di dalam negeri.

Dengan mengambil angka rata-rata dari penjualan kendaraan bermotor di tanah air yakni 500.000 unit per tahun untuk mobil dan 5.000.000 unit untuk sepeda motor per tahun, kebutuhan minyak mentah dipastikan melonjak tajam bersamaan peningkatan kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk transportasi.

"Tidak perlu dihitung untuk industri atau yang lainnya, karena untuk transportasi saja kebutuhannya 70 persen," ujar dia.

Ketergantungan akan energi fosil di tanah air, menurut dia, akan terus berlanjut. Hingga tahun 2025, ketergantungan tersebut masih akan mencapai 75 persen, sedangkan energi alternatif baru akan menutupi 25 persen dari kebutuhan.

Sebagai gambaran, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) telah mencatat bahwa penjualan mobil di tahun 2008 lalu menembus angka 640.000 unit. Maka hingga bulan Oktober 2009 penjualan mobil telah menembus angka 38.000 unit.

Dirjen Industri Alat Transportasi dan Telematika (IATT), Budi Dharmadi dalam satu kesempatan telah menyatakan optimismenya akan peningkatan penjualan otomotif di tahun 2010.

"Ada yang memprediksi 550.000 ada juga yang optimistis 600.000 unit. Prediksi Departemen Perindustrian ada di tengahnya, sekitar 570.000 unit," ungkapnya.

Effendi menambahkan bahwa dalam dua hingga tiga tahun ke depan saat perekonomian membaik dan sepenuhnya terlepas dari dampak krisis keuangan global, dapat dipastikan konsumsi bahan bakar akan semakin meningkat. Hal ini patut menjadi perhatian.


Halangan Mandiri

Indonesia dengan 17.480 pulau dan luas lautan dua per tiga dari luas wilayah negara menyimpan kekayaan yang berlimpah. Minyak dan gas (migas) sebagai salah satu sumber daya alam berlimpah tersebut hingga kini masih menjadi andalan dari penambahan devisa negara.

Dalam makalah yang dibawakan Marwan Batubara dalam seminar "Energy Outlook: Quo Vadis Production Sharing Contract Extension", tercatat bahwa dengan sumber daya 56.6 miliar barel minya mentah Indonesia memiliki cadangan hanya 8,4 miliar barel. Sedangkan sumber daya gas bumi mencapai 334,5 TSCF dengan cadangan sebesar 165 TSCF.

Energi fosil lainnya yang masih tersisa yang dimiliki Indonesia adalah batu bara, dimana sumber daya batu bara mencapai 90,5 miliar ton dengan cadangan sebesar 18,7 miliar ton. Sumber daya energi dari fosil yang hingga kini belum tersentuh adalah "coal bed mathane" (CBM) dimana sumber daya CBM ini mencapai 453 TSCF.

Namun sayangnya, Marwan mengatakan potensi energi yang besar itu tidak mampu menciptakan kemandirian nasional dan mensejahterakan rakyat. Hal tersebut lebih dikarenakan kebijakan dan program Pengelolaan Energi Nasional (PEN) tidak dijalankan secara konsisten dan berkesinambungan.

Ia menambahkan bahwa penguasaan negara atau BUMN atas tata niaga dan ekspor maupun impor migas dan energi lainnya tidak optimal. Di lain pihak masih dominannya mafia dan kartel migas, serta transportasi yang tidak efisien menambah beban kesempatan negara ini menjadi negara yang mandiri energi.

"Penguasaan BUMN atas pertambangan dan energi masih rendah, sebesar 13 persen saja," ujar dia.

Di lain sisi, lanjut dia, kepatuhan pemerintah terhadap hukum dipertanyakan, diantaranya pengabaian terhadap putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan "Domestic Market Obligation" (DMO), Kontrak Bagi Hasil yang tidak mencerminkan Kontrak Internasional dan selajan dengan Undang-undang Migas, dan proses penawaran Wilayah Konsesi yang tidak "accountable" dari sisi uji kelayakan teknis, administratif, dan sumber daya manusia (SDM).

Dalam hal ini Effendi Siradjuddin menambahkan bahwa kebijakan pemerintah dalam keberpihakan pada BUMN, swasta, hingga Usaha Kecil Menengah (UKM) dalam pengelolaan migas cukup baik. Namun dalam hal implementasi, menurut dia, sangat kurang.

Kebijakan migas pemerintah dianggap gagal untuk negara. Pemerintah, ujar Effendi, harus mengembalikan kebijakan migas pada kebijakan "lex specialis", dimana Indonesia dapat mandiri mengelola potensi migas yang berlimpah.(*)

Oleh Oleh Virna Puspa Setyorini
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009