Jakarta (ANTARA News) - Kematian delapan warga Kabupaten Bandung, Jawa Barat, setelah pemberian obat antifilariasis massal untuk pencegahan penyakit kaki gajah atau filariasis pada 10-16 November lalu membuat penyakit yang sebelumnya kurang dikenal itu jadi sorotan publik.

Kematian mereka dikaitkan dengan pemberian obat antifilariasis yang terdiri atas Diethylcarbamazine citrate (DEC), albendazole (obat cacing) dan parasetamol (obat penurun panas).Polisi pun turun tangan.

Kepolisian Resor Kabupaten Bandung memeriksa pejabat Dinas Kesehatan dan beberapa Kepala Puskesmas di daerah setempat, membuat petugas dan kader kesehatan takut dan berniat mengundurkan diri dari program eliminasi kaki gajah.

"Beberapa petugas diperiksa polisi, kami jadi resah. Beberapa teman berniat mengundurkan diri," kata drg. Endang dari Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung di Majalaya.

"Kami juga khawatir, takut disalahkan dan diperiksa. Teman-teman jadi berpikir untuk tidak ikut lagi," kata Ismaini Magdalena, kader kesehatan.

Warga di daerah endemis lain pun jadi takut mengonsumsi obat tersebut. "Di tempat saya satu gang tidak ada yang minum obat, takut kalau kejadian seperti di Bandung, minum obat malah mati," kata Santoso, warga Depok.

Padahal tak lama setelah kejadian Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih langsung menurunkan tim dari Komite Ahli Pengobatan Filariasis Indonesia (KAPFI) untuk menyelidiki kejadian itu dan mengumumkan hasilnya.

Menurut hasil penyelidikan dan analisis tim KAPFI, kematian beberapa warga Kabupaten Bandung itu tidak terkait dengan pemberian obat pembunuh cacing filaria tersebut.

Ketua KAPFI Prof Purwantyastuti mengatakan dari delapan orang yang dilaporkan meninggal dunia setelah pemberian obat antifilariasis, tiga orang tidak mengonsumsi obat dan lima orang meninggal dunia karena sebab yang lain.

"Dari lima orang yang meninggal dunia setelah mengonsumsi obat antifilariasis, tiga di antaranya menunjukkan tanda serangan jantung dan dua lainnya memperlihatkan gejala stroke. Informasi itu diperoleh dari formulir data keluhan pasien yang diisi petugas kesehatan saat yang bersangkutan memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan," katanya.Obat yang diberikan kepada penduduk, menurut dia, juga sudah terbukti aman.

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Husniah Rubiana Thamrin Akib mengatakan hasil pengujian laboratorium terhadap sampel obat-obat yang diberikan kepada warga menunjukkan bahwa obat tersebut aman.

"DEC dan parasetamolnya buatan dalam negeri, jadi sebelumnya sudah melalui pemeriksaan keamanan dan mutu. Sementara Albendazol merupakan bantuan WHO, jadi melalui jalur khusus, tak lewat pemeriksaan kami.

Tapi menurut hasil pemeriksaan terhadap sampel obat yang diberikan kepada warga di lapangan, semua aman," tuturnya.Prof Purwantyastuti juga mengatakan bahwa kematian warga Bandung tersebut tidak berkaitan dengan reaksi obat.

"Reaksi obat muncul satu sampai empat jam setelah pemberian, jadi kalau kejadiannya sebelum itu bisa dipastikan bukan karena pengaruh obat," katanya.

Ia menjelaskan, obat antifilariasis yang diberikan secara massal kepada warga sudah digunakan sejak puluhan tahun silam dan terbukti aman, tidak pernah menimbulkan efek samping yang membahayakan, apalagi mematikan.

"Efek sampingnya ada seperti pusing, mual dan demam, tapi itu hanya sementara dan tidak berbahaya," katanya.

Pengobatan filariasis menyebabkan efek samping sistemik berupa sakit kepala, sakit tulang/otot, pusing, anoreksia, muntah, demam, alergi serta efek samping akibat reaksi lokal seperti penumpukan cairan limpa, abses, dan epididimitis beberapa jam setelah konsumsi obat.

Menurut Guru Besar Parasitologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof Saleha Sungkar, efek samping tersebut bisa muncul karena pengaruh obat maupun reaksi sistem kekebalan tubuh terhadap mikrofilaria yang mati.

"Semakin banyak kandungan mikrofilaria dalam tubuh, biasanya makin berat pula efek samping yang muncul," katanya.

Ia mengatakan, efek samping obat antifilariasis kadang menjadi hambatan pelaksanaan program pengobatan karenanya dia menyarankan agar sebelum pengobatan massal dilakukan warga harus terlebih dulu diberi tahu mengenai dampak pengobatan.

Masih Yang Terbaik
Ahli kesehatan masyarakat dari Universitas Indonesia Prof Does Sampurno mengatakan pemberian obat antifilariasis massal pada penduduk daerah endemis sampai sekarang masih menjadi metode paling baik untuk mencegah penyebaran penyakit kaki gajah.

"Tentu saja dengan tetap melakukan pemberantasan perantara penularan dan menghindari kontak dengan perantara penularan, yaitu nyamuk," katanya.

Menurut Prof Saleha, obat antifilariasis mematikan cacing filarial seperti Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori, yang masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk.

"Ini penting karena orang yang terlihat sehat mungkin mengandung mikrofilaria atau anak cacing filaria dalam tubuhnya," kata dia.

Jika tidak diobati, anak-anak cacing filaria itu akan tumbuh dewasa dalam tubuh, bertambah banyak dan menutup saluran kelenjar getah bening serta kemudian membuat tungkai kaki, lengan, alat kelamin atau payudara membesar.

"Kalau sudah terjadi pembesaran berarti cacingnya sudah mati. Tapi tubuh menjadi cacat sehingga penderita tidak bisa beraktifitas secara normal," katanya.

Pembesaran tungkai kaki, lengan dan organ yang lain, kata dia, hanya bisa dipulihkan dengan melakukan operasi berbiaya besar.Di samping itu, ia menjelaskan, orang yang tubuhnya mengandung mikrofilaria juga akan menularkan parasit dalam tubuhnya kepada orang lain dengan perantara 23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes, dan Armigeres.

Itu akan membuat semakin banyak orang menjadi cacat akibat ulah cacing-cacing kecil yang menumpang hidup dalam tubuh mereka dan menularkan parasit dalam tubuhnya ke lebih banyak orang.

Kondisi yang demikian, menurut Guru Besar ekonomi kesehatan dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Prof Ascobat Gani, akan memperberat beban biaya kesehatan yang harus ditanggung.

Ia menjelaskan, dengan 44 juta orang yang tubuhnya mengandung mikrofilaria dan 11.699 penderita filariasis kronis biaya pengobatan yang harus dikeluarkan sekitar Rp10 miliar per tahun."Kalau tidak diintervensi ini akan menjadi perangkap kemiskinan baru," katanya.

Harus Ketat
Prof Does mengatakan, dalam jumlah yang tepat obat memang bisa menyembuhkan namun jika tidak diberikan dalam dosis yang tepat maka tidak akan memberi pengaruh apa-apa atau justru menjadi racun yang membahayakan kesehatan.

"Jadi meski pemberian obat massal itu baik, pelaksanaannya harus dilakukan dengan sangat hati-hati, mengacu pada prosedur yang sudah ditetapkan. Jangan dianggap gampang, sikap menganggap gampang dan sepele ini yang sering bikin program tidak berjalan baik," katanya.

Petugas dan kader kesehatan yang terlibat dalam kegiatan pemberian obat antifilariasis massal, menurut dia, harus sudah punya bekal pengetahuan cukup mengenai prosedur pemberian dan efek sampingnya.

"Petugas yang turun langsung ke lapangan harus benar-benar dipersiapkan, terlebih dulu diberi pelatihan khusus tentang program pengobatan dan prosedur pelaksanaannya," kata Prof Does.

Ia menambahkan, sosialisasi tentang program pemberian obat massal harus dilakukan kepada masyarakat sasaran sebelum kegiatan dimulai supaya mereka tahu dan tidak kaget dengan kemungkinan munculnya efek samping.

Berkenaan dengan hal itu Direktur Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Departemen Kesehatan Rita Kusriastuti mengatakan bahwa dalam hal ini pemerintah sudah melakukan evaluasi dan perbaikan.

"Selanjutnya prosedur diperketat, pendataan dan pemindaian sasaran program pemberian obat antifilariasis massal lebih teliti. Kader harus mendata secara teliti untuk memastikan obat hanya diberikan kepada orang yang tepat," katanya.

Sasaran pemberian obat antifilariasis yakni seluruh penduduk kecuali penduduk lanjut usia, anak usia kurang dari dua tahun, ibu hamil, penderita gangguan fungsi ginjal dan hati, penderita epilepsi, orang yang sedang sakit, anak kurang gizi dan penderita filariasis kronis yang sedang dalam serangan akut.

"Khusus untuk mereka dilakukan penundaan," katanya. Pemindaian sasaran pemberian obat antifilariasis massal, lanjut, juga tidak hanya akan ditumpukan pada kader kesehatan.

Pemerintah akan mengerahkan dokter, bidan dan paramedis terlatih untuk membantu posko pelaksana eliminasi kaki gajah yang ada di puskesmas-puskesmas.

Rita mengatakan, pelaksana pemberian obat antifilariasis massal pun akan diseleksi betul.

"Nanti pemberian obat hanya boleh dilakukan oleh kader kesehatan yang sudah mengikuti pelatihan penanggulangan filariasis dan mendapat sertifikat serta menjadi bagian dari Tim Pelaksana Eliminasi," katanya.

Lebih lanjut dia menjelaskan, kejadian di Kabupaten Bandung tidak menghentikan langkah pemerintah dalam menumpas filariasis.

Pemerintah tetap melanjutkan pemberian obat antifilariasis massal ke sesuai rencana supaya penyakit kaki gajah yang hingga kini masih endemis di 368 dari 471 kabupaten/kota bisa "tersapu" seluruhnya tahun 2018 mendatang.(*)

Pewarta: Maryati
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009