Jakarta (ANTARA News) - Ketut tampak khusyuk bersembahyang dengan perangkat dupa dan sesajen, dan di sampingnya, Rahmat juga tak kalah khusyuk membaca Yasin, sebuah surat dalam Al Quran.

Dua orang itu memang berlainan keyakinan dalam beragama, Ketut Hindu dan Rahmat Islam. Namun mereka duduk berdampingan, tidak saling mengganggu, ketika mereka menjalani laku keagamaam mereka di makam Gusti Ayu Made Rai alias Raden Ayu Pemecutan alias Raden Ayu Siti Khotijah, di kompleks Puri Pemecutan, Denpasar.

Makam itu biasanya ramai dikunjungi umat Islam dan Hindu pada malam Jumat.

Satu-satunya makam Muslim di tengah pemakaman umat Hindu itu terletak di Desa Pemecutan, Kecamatan Denpasar Barat. Makam keturunan Raja Pemecutan itu dikeramatkan oleh umat Hindu dan juga Muslim.

Makam itu juga menjadi simbol bagaimana sebenarnya umat berbeda keyakinan bisa menyatu. Di sana, tidak pernah ada pengakuan bahwa umat Islam atau umat Hindu yang lebih berhak memelihara makam tersebut. Bahkan di makam itu mereka melebur dalam satu belanga dengan dua warna.

"Kalau bulan puasa, umat Muslim banyak datang berziarah setelah mereka selesai melaksanakan shalat tarawih," kata I Ketut Gde Fajar, penjaga makam yang biasa disebut makam Keramat Agung Pemecutan itu.

Putra dari juru kunci Keramat Agung Pemecutan Jro Mangku I Made Puger itu mengemukakan, biasanya para peziarah datang ke makam tersebut untuk mengaji dan berdoa.

Di bulan Ramadhan, katanya, para peziarah umumnya hanya masyarakat di Denpasar dan sekitarnya. Mereka datang secara berkelompok maupun sendiri-sendiri. Sementara di luar bulan puasa, peziarah datang dari Pulau Jawa, Madura, Sulawesi, Kalimantan, bahkan dari Malaysia.

Jro Mangku I Made Puger dalam bukunya "Sejarah Keramat Agung Pemecutan" menyebutkan, Raden Ayu Siti Khotijah adalah putri dari Raja Pemecutan.

Ayu memeluk Islam setelah dipersunting oleh Pangeran Cakraningrat IV dari Bangkalan, Madura. Sebelumnya Ayu mengalami kuning bertahun-tahun dan tidak bisa disembuhkan. Ia sembuh setelah diobati oleh bangsawan asal Madura itu.

Sebagai bentuk rasa terima kasih atas bantuan tersebut, Raja Pemecutan menikahkan putrinya dengan Cakraningrat IV. Setelah diboyong ke Bangkalan, sang putri memeluk Islam.

Setelah bertahun-tahun tinggal di Bangkalan dan menjadi Muslim yang taat, Siti Khotijah berkeinginan mengunjungi keluarganya di Bali. Pangeran Cakraningrat IV memberikan izin, namun tidak bisa menemani perjalanan isterinya ke Pemecutan.

Peristiwa bersejarah terjadi ketika Siti Khotijah hendak melaksanakan shalat magrib di Puri Pemecutan.

Dia telah mengenakan mukena putih dan bertakbir ketika seorang patih kerajaan yang tidak tahu tentang Islam melihatnya dan langsung mencurigai Siti Khotijah mengamalkan ilmu hitam atau leak.

Apalagi, sang patih mengira kalimat takir "Allahu akbar" yang diucapkan Siti Khotijah sebagai kata "makebber" yang artinya mau terbang. Sang patih kemudian melapor hal itu kepada raja.

Mendapat laporan itu Raja Pemecutan murka dan memerintahkan patih agar Siti Khotijah dibawa ke setra atau kuburan Badung. Di kuburan itu Siti Khiotijah menemui ajal setelah dilempar cucuk konde miliknya sendiri oleh sang patih.

Sebelum meninggal, Siti Khotijah berpesan bahwa dirinya siap menerima apapun yang terjadi. Jika ia mati, katanya, badannya akan mengeluarkan asap.

"Bila asap yang keluar dari mayat saya berbau busuk, silakan paman patih tanam mayat saya sembarangan. Tetapi jika asap yang keluar dari badan saya berbau harum, tolong buatkan saya tempat suci yang disebut keramat," demikian pesan Siti Khotijah yang dikutip dalam buku "Sejarah Keramat Agung Pemecutan".

Ternyata, mayat Siti Khotijah mengeluarkan asap berbau harum. Mendengar kabar itu Raja Pemecutan merasa menyesal. Sebagai bentuk penghormatan, selain dibuatkan makam khusus, pengikut dan pendamping Siti Khotijah dari Bangkalan kemudian diberi tanah pemukiman di Kepaon.

Daerah itu saat ini dikenal sebagai Kampung Islam Kepaon yang terletak di Desa Pamogan, Kecamatan Denpasar Selatan.

Hingga kini hubungan masyarakat Kepaon dengan Puri Pemecutan dan Gerenceng masih berlangsung dengan baik.

Menurut I Ketut Gde Fajar, keberadaan makam Siti Khotijah menjadi salah satu alat pemersatu antara umat Muslim dengan Hindu.

"Dari tempat ini, kami mendeklarasikan terbentuknya organisasi Persaudaraan Hindu Muslim Bali atau PHMB pada tahun 2006. Kami saling bahu-membahu setiap ada kegiatan keagamaan Hindu maupun Islam," ujarnya.

Tempat ini menunjukkan bagaimana kebesaran hati umat Hindu. Mereka tetap menaruh hormat yang sama dengan leluhur lainnya, meskipun Rade Ayu Pemecutan semasa hidupnya keluar dari agama Hindu dan memeluk Islam.

Bahkan kisah pemelukan Islam oleh Rade Ayu Pemecutan atau Raden Ayu Siti Khotijah itu menjadi inti dari hymne PHMB yang dikarang oleh I Wayan Aryadana, seorang pemeluk Hindu. Wayan dan umat Hindu dengan lapang dada memasukkan selawat badar (doa-doa untuk Nabi Muhammad) dalam hymne itu.

Menurut Wayan, yang Ketua Pekat Indonesia Bersatu Bali itu, mengaku, dia berkonsultasi dengan pengurus PHMB yang Muslim ketika mengarang lagu itu, sehingga dia kemudian memasukkan juga unsur selawat dan cerita tentang kebersamaan umat Muslim dengan Kerajaan Pemecutan. (bersambung)

Pewarta: Masuki M. Astro
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009