Jakarta (ANTARA) - Ketua KPK Firli Bahuri menegaskan "take home pay" para pegawai KPK yang sudah beralih status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak akan berkurang.

"Saya berjuang dan tetap pada komitmen yang pernah saya sampaikan bahwa 'take home pay' pegawai KPK bahwa sampai 12 Agustus kemarin saya belum dapat berita 'take home pay' turun, jadi tetap sama," kata Firli di gedung KPK Jakarta, Selasa.

Baca juga: KPK bentuk 15 satgas untuk cegah korupsi penanganan COVID-19

Firli menyampaikan hal tersebut dalam konferensi pers Kinerja KPK Semester I 2020 bersama dengan 3 pimpinan KPK lain yaitu Nawawi Pamolango, Nurul Ghufron dan Lili Pintauli Siregar.

Hal tersebut disampaikan Firli terkait terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No 41 tahun 2020 tentang Pengalihan pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) pada 27 Juli 2020.

Pada pasal 9 ayat 1 PP 41/2020 disebutkan pegawai KPK yang sudah menjadi Pegawai ASN, diberikan gaji dan tunjangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan pasal 9 ayat 2 tertulis "Dalam hal terjadi penurunan penghasilan, kepada Pegawai KPK selain gaji dan tunjangan juga dapat diberikan tunjangan khusus yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden".

"Jangan sampai ada yang ngomong lain-lain katanya gaji PNS begini, begitu jangan terulang dan tidak perlu dilakukan. Pada 13 Agustus saya panggil Direktur Jenderal Kementerian Keuangan, saya bicarakan supaya jangan ada kegaduhan," tambah Firli.

Baca juga: Ketua KPK: Pemerintah tak pernah main-main berantas korupsi

Firli menegaskan bahwa PP tersebut mengatur soal alih status pegawai KPK, bukan rekrutmen pegawai KPK menjadi ASN.

Namun untuk bisa alih status tersebut, menurut Firli ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh pegawai KPK sesuai dengan pasal 3 PP No 41 tahun 2020 tersebut.

Pasal 3 menyebutkan "Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN dilakukan dengan syarat (a) Berstatus sebagai Pegawai Tetap atau Pegawai Tidak Tetap Komisi Pemberantasan Korupsi; (b) Setia dan taat pada Pancasila, UUD 1945, NKRI dan pemerintah yang sah.

"Di luar itu tidak boleh, makanya pimpinan menyatakan tidak ada rekrutmen baru karena PP 41/2020 pasal 3 menyebutkan syarat alih status adalah pegawai tetap dan tidak tetap dan syarat kedua adalah setia dan taat kepada Pancasila, UUD 1945 dan pemerintah itu syaratnya," tambah Firli.

Proses alih status itu pun akan diatur dalam peraturan KPK sesuai pasal 6 PP 41/2020.

"Pasal 6 itu terkait dengan mekanisme alih status diatur peraturan komisi. PP ini berlaku sesuai perkom OTK artinya harus segera selesai, jangan banyak diskusi dan mekanisme penyusunannya juga melibatkan kementerian dan lembaga terkait yaitu Kemenpan RB, BKN, Ketua LAN," ungkap Firli.

Firli meminta para pegawai KPK tidak menjadi gundah karena terbitnya PP 41/2020 tersebut apalagi pegawai berusia di atas 35 tahun yang merupakan syarat maksimal usia seseorang diterima sebagai seorang ASN.

"Jadi jangan ada kegundahan dengan rekan-rekan yang berumur di atas 35 tahun. Saya dari awal sudah sampaikan itu PP alih status bukan rekrutmen, karena kalau pengangkatan ASN syaratnya maksimal 36 tahun, maka PP judulnya alih status," tambah Firli.

Baca juga: Nawawi: KPK belum gagal untuk buktikan pencucian uang Wawan

Senada dengan Firli, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan selanjutnya KPK akan membuat aturan pengalihan apakah harus mengikut tes atau pendidikan dan pelatihan atau penyesuaian dalam struktur jabatan kepegawaian ASN.

"Karena ada beberapa yang tidak sama misalnya struktur kepangkatan jabatan, gaji perlu penyesuaian, jadi perlu PP 41/2020 dibentuk adalah untuk mengatur proses transisi dari pegawai KPK menjadi ASN dan dalam sistem kepegawaian perlu penyesuaian jabatan yaitu struktural dan fungsional," kata Ghufron.

Sebelumnya mantan pimpinan KPK Laode M Syarif menilai penerapan sistem penggajian di KPK seperti ASN akan merusak kinerja KPK.

"KPK itu tadinya 'single salary' jadi gajinya cuma satu, dengan PP ini bisa saja disebut gaji rendah, tapi dapat tunjangan, uang rapat honor ini itu yang jumlahnya banyak tapi pertanggungjawabannya susah karena ukurannya tidak jelas," kata Laode.

Dengan sistem tersebut, dapat memicu pegawai KPK untuk mengikuti berbagai kegiatan misalnya kepanitiaan untuk mendapatkan imbalan honor dan tunjangan.

"Hal-hal seperti ini harusnya dihilangkan tapi malah sistem KPK yang sudah bagus malah dihilangkan. Bahkan sebenarnya kita sudah sampaikan ke Menteri Keuangan pada peringatan Hari Antikorupsi Sedunia agar penggajian sistem tunggal ini yang diterapkan tapi bukannya mengikuti sistem penggajian yang sudah benar tapi yang sudah bagus jadi diubah ke yang bermasalah akuntabilitasnya," tambah Laode.

Baca juga: Semester I 2020, KPK buka 43 penyidikan perkara baru

Baca juga: Kepatuhan lapor LHKPN capai 95,33 persen pada semester I 2020

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2020