Jakarta (ANTARA) - Sejarah di jazirah Arab, mencatat sebelum Islam datang, secara umum masyarakat Arab hanya mengenal tanggal dan bulan saja, tanpa tahun.

Hal bisa dilihat dari penyebutan kelahiran Nabi Muhammad SAW pada tanggal 12 Rabiul awal tahun Gajah, di mana pada tahun itu Makkah diserbu oleh tentara bergajah untuk menghancurkan Ka'bah. Penggunaan tanggal dan bulan pun tidaklah begitu umum.

Awal ide penanggalan hijriah adalah ketika Khalifah ke II Umar bin Khatab menerima surat dari Gubernurnya di Bashra, Abu Musa al-Asy’ari yang berbunyi “….Membalas surat Khalifah yang tak bertanggal…” sepenggal baris kalimat surat tersebut menarik perhatian Khalifah Umar bin Khatab yang kemudian tercenung, dan menyadarkan beliau betapa penanggalan menjadi sangat penting terutama pada urusan administrasi kenegaraan.

Setelah itu, Khalifah memanggil para sahabat Rasulullah untuk membicarakan awal dari penanggalan Hijriah ini.

Banyak masukan dan argumen yang diajukan oleh para sahabat Rasulullah untuk memulai penetapan tahun Hijriah. Ada beberapa masukan dari para sahabat Rasulullaah dalam menetapkan awal bulan dan tahun Hijriah.

Penanggalan Hijriah dimulai dari tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW. Pendapat ini sangat umum dan hal biasa, di mana kelahiran seorang tokoh dijadikan tanggal yang sangat penting bagi sebuah agama atau ideologi.

Masukan lainnya adalah agar ketika wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dijadikan dasar awal penanggalan Hijriah. Alasannya adalah bahwa saat wahyu diturunkan maka dimulailah misi kenabian beliau yang mulia.

Ada pula yang mengusulkan penanggalan Islam dihitung dari wafatnya Rasulullah SAW, dengan alasan bahwa karena ketika wafatnya Rasulullah SAW wahyu sudah berakhir, dan itu berarti bahwa agama Islam sudah sempurna dan menjadi penyempurna agama-agama terdahulu.

Sayidina Ali RA kemudian mengusulkan awal penanggalan Hijriah diawali dari waktu hijrahnya Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah, karena momentum hijrah tersebut menjadi titik balik perjuangan Rasulullah SAW, di mana ketika di Madinah, beliau berhasil berdakwah dengan gilang gemilang.

Setelah lama bermusyawarah bersama secara mendalam, dengan berbagai pendapat dan argumentasinya masing-masing, akhirnya disepakati bahwa usulan penanggalan Hijriah diawali dari peristiwa hijrahnya Rasulullah SAW dari Mekkah ke Madinah dengan alasan seperti yang diajukan oleh Saiyidina Ali RA.

Ketika memutuskan dan mengumumkan hasil musyawarah, Umar bin Khattab beralasan bahwa hijrahnya beliau sebagai momen keberhasilan dakwah Islam, setelah beliau bekerja sangat keras di Mekah 10 tahun menyampaikan Islam sebagai agama Tauhid, kemudian dilanjutkan menyampaikan Islam sebagai agama Tauhid dan kemanusiaan di Madinah selama 13 tahun, untuk kemudian dilanjutkan dengan dengan keberhasilan-keberhasilan lainnya dalam menyiarkan agama Islam.

Baca juga: MUI ajak umat Islam berdoa di malam Tahun Baru 1442 Hijriah

Baca juga: Libur panjang, Kemenhub batasi angkutan barang



Filosofi

Dalam sebuah masyarakat, apabila ada sesuatu yang sangat dekat dengan kehidupan dan sesuatu itu sangat penting, maka masyarakat itu mempunyai banyak kata untuk menggambarkan sesuatu itu beserta turunannya.

Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, nasi begitu dekat dan sangat penting bagi kehidupan, maka kita akan menemukan kata-kata yang berhubungan dengan nasi seperti padi, sawah, gabah, beras, beras ketan, beras pera, beras pulen, menir, nasi, lontong, ketupat, gemblong, bacang, papais, kue putu, kue cucur, kue apem, bubur, kue lemper dan lain-lain.

Bagi orang Barat, nasi tidaklah dekat dan penting bagi kehidupannya, maka ia hanya mengenal satu kata saja yaitu rice, baik rice field bagi sawah atau rice cake bagi kue nasi dan turunannnya.

Islam sering menamakan dirinya dengan kata “Jalan” dengan memakai kata-kata “ash-shiroot”, “asy-syaari’/ syariat”, “ath thooriq/ thoriqot”, “as-sabil/ as subul”, “as suluk/ maslak”, ‘al manhaj”, “al-mansak/ manasik” dll. Korelasi dari jalan adalah ‘gerak” maju ke depan. Jangankan bergerak mundur, berhenti saja di tengah jalan sudah menyalahi nature dari jalan tersebut. Jalan tidak akan pernah mempunyai arti kalau tanpa ada “gerak” maju ke depan. Islam menuntut umatnya untuk selalu bergerak maju ke depan.

Gerak di sini bukanlah gerakan berpindah-pindah seperti kaum nomad, tapi gerakan yang melahirkan peradaban yang lebih baik. Gerak yang telah memberikan sumbangan bagi peradaban dunia.

Islam melarang umatnya bermalas-malasan, jumud, tidak kreatif, lari dari permasalahan, takut dengan problema, lemah, hanya mengeluh dan meminta-minta.

Umat Islam harus terus bergerak keluar dari kegelapan menuju jalan pencerahan. Bergerak keluar dari kegelapan menuju pencerahan inilah yang dinamakan Hijrah seperti yang dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW.

Gerak yang bukan hanya berupa fisik saja, tapi gerak yang membuat spiritual, intelektual, mental dan moral kita lebih baik lagi.

Tahun baru Hijriah 1 Muharam, yang sebelumnya diawali dengan Dzulhijjah, yaitu bulan orang-orang Islam melakukan haji di Baitullaah, Mekkah al Mukaromah, ini mengartikan bahwa Hijrah seorang muslim harus berawal dari Tuhan dan berakhir/tujuan ke Tuhan.

Al Quran menjamin orang-orang yang berhijrah karena Allah mereka akan mendapatkan kemudahan.

“Dan barang siapa yang berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapatkan bumi Allah yang sangat luas, dan rezeki yang banyak. Barangsiapa yang keluar dari rumahnya dengan berniat berhijrah karena Allah dan Rasulnya, kemudian wafat sebelum sampai ke tujuannya, maka sesungguhnya pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang” (An Nisa : 100)

Penanggalan pada tahun Hijriah adalah berdasarkan perputaran bulan sebagai acuannya (Yunus:5).

Berbeda dengan pergantian hari pada kalender Masehi yang berdasarkan matahari, dimana penggantian hari jatuh pada pukul 00.00 tengah malam, maka pada penanggalan Hijriah penggantian hari dimulai pada saat matahari terbenam.

Kalender hijriah dibangun berdasarkan rata-rata siklus sinodik bulan kalender lunar (qomariyah), dan memiliki 12 bulan dalam setahun. Karena menggunakan sinodik bulan, maka dalam setahun ada perbedaan 10-12 hari lebih pendek dari kalender Masehi.

Dengan adanya perbedaan ini, maka ibadah-ibadah dalam Islam mengalami pergantian atau pergesaran tanggal dalam kalender Masehi.

Setiap Muslim dapat mengalami dan merasakan berpuasa, haji dan ibadah-ibadah lainnya secara bergantian di semua musim. Di sinilah hikmah keadilan Allah kepada umatnya, dimana semua orang Islam bisa mengalami ibadah dalam segala musim. (Al-Baqarah:189).

Terakhir, dalam situasi seperti sekarang ini, dimana pandemi COVID-19 belum berakhir, dunia dihantui krisis yang belum menentu karena COVID-19, umat Islam, terutama di Indonesia, sebagai mayoritas, lebih dituntut partisipasinya untuk selalu berpikiran positif, berinovasi, bekerja lebih keras dan smart, bahu membahu dengan berbagai unsur anak bangsa untuk membawa Indonesia bisa keluar dari pandemik dan krisis untuk lebih baik lagi.

Selamat Tahun Baru Hijriah. Selamat memperingati kerja keras dan cerdas yang berorientasi pada hasil.*

*) Nanang Sumanang adalah guru Sekolah Indonesia Davao-Filipina

Baca juga: Sambut Tahun Baru Islam, pejabat-ulama pelajar Aceh Barat jalan kaki

Baca juga: Tahun baru islam, Kota Jambi santuni 805 anak yatim

Copyright © ANTARA 2020