Surabaya (ANTARA News) - Tiga biksu menyeruak di antara kerumunan orang yang mengantarkan mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ke pemakaman di kompleks Pesantren Tebuireng, Jombang (31/12/2009).

Pemakaman "Guru Bangsa" itu tidak hanya dihadiri sejumlah aktivis lintas agama, namun juga dari kalangan lintas etnis dan lintas strata sosial yang merasa kehilangan sosok yang sangat pluralis itu.

Buktinya, sejumlah warga Tionghoa Jawa Timur juga terlihat menjemput kedatangan jenazah almarhum mantan Presiden ke-4 RI itu di Bandara Internasional Juanda, Surabaya.

"Saya dan beberapa teman ikut menjemput jenazah beliau, karena Gus Dur bukan hanya milik orang NU, beliau juga milik orang Tionghoa," kata aktivis Tionghoa, Hendy Prayogo.

Menurut Sekretaris Persatuan Masyarakat Tionghoa Indonesia (PsMTI) Jatim itu, sejumlah aktivis Tionghoa juga ingin mengantarkan jenazah Gus Dur ke Jombang untuk dimakamkan.

"Kami juga akan ke Jombang, karena kami merasa kehilangan sekali. Bagaimana pun, Gus Dur itu orang yang berjasa untuk kami, beliau juga berjuang untuk kami," katanya.Apa sebenarnya warisan Gus Dur yang sangat dekat dengan berbagai kalangan itu ?

"Warisan berharga dari Gus Dur adalah pandangan bahwa perbedaan itu dapat dikelola menjadi kekuatan melalui penerimaan terhadap perbedaan itu sendiri," kata aktivis Lembaga Bantuan Pewarganegaraan (LBP) Jatim itu.

Perbedaan itu kekuatan ?! "Ya, itulah warisan Gus Dur. Beliau itu berbeda dengan Orde Baru. Kalau Orde Baru itu menilai kesamaan atau penyeragaman itu kekuatan, tapi Gus Dur sebaliknya bahwa perbedaan itu merupakan kekuatan," katanya.

Agaknya, sepak terjang Gus Dur seperti itu membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjuluki mantan pendahulunya itu sebagai Bapak Pluralisme yang patut menjadi tauladan bagi seluruh bangsa.

"Kita telah kehilangan putra terbaik bangsa, guru, bapak bangsa, dan negarawan yang terhormat. Hari ini kita semua, seluruh rakyat Indonesia berkabung atas wafatnya K.H. Abdurrahman Wahid yang akrab di masyarakat dengan panggilan Gus Dur," katanya mengawali sambutan dalam memimpin upacara kenegaraan pemakaman Gus Dur di kompleks Pondok Pesantren (PP) Tebuireng (31/12/2009).

Menurut Kepala Negara, sejarah bangsa ini tidak lepas dari peran serta Gus Dur. Ia menyebutkan, pada awal 1990-an, Gus Dur bersama beberapa rekan-rekannya membentuk Forum Demokrasi (Fordem).

"Forum itu memberikan pelajaran kepada kita mengenai strategi berdemokrasi dalam menciptakan perdamaian. Beliau juga merupakan tokoh berpengaruh, tidak hanya nasional, melainkan juga internasional," kata Presiden.

Presiden menilai pluralisme dan multikulturalisme yang diajarkan Gus Dur tidak hanya menjadi inspirasi elemen bangsa ini, tetapi bangsa-bangsa di dunia.

"Oleh sebab itu, Gus Dur merupakan Bapak Pluralisme yang telah memberikan inspirasi bagi kita semua. Namun sebagai sosok manusia biasa, Gus Dur tidak luput dari khilaf dan kekurangan," katanya.

Perbedaan itu Kekuatan
Agaknya, pluralisme Gus Dur sudah lama terlihat sejak cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) K.H. Hasyim Asy`ari itu mengawali pendidikan agamanya di PP Tegalrejo Magelang dan PP Tambakberas Jombang.

Dari situ, Gus Dur pun mengalami "pluralisme" dengan menimba ilmu di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir dan Universitas Baghdad, Irak, bahkan Gus Dur mendapatkan gelar doktor Honoris Causa dari sejumlah perguruan tinggi ternama di Jepang, Korea Selatan, Perancis, Thailand, dan Israel.

Tidak hanya itu, Gus Dur juga memiliki "pluralisme" dengan menjabat sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Ketua Forum Demokrasi (Fordem), Ketua Umum PBNU (tiga periode), Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), anggota MPR, Ketua Dewan Syura DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Presiden ke-4 RI.

Pluralisme Gus Dur juga terbaca dalam pemikiran Gus Dur terkait usulan agar TAP MPRS Nomor XXIX/MPR/1966 yang melarang Marxisme-Leninisme dicabut, sehingga timbul kontroversi.

Selain itu, Gus Dur juga pernah mengumumkan Tahun Baru China (Imlek) menjadi hari libur nasional dan mencabut larangan penggunaan huruf Tionghoa, berusaha membuka hubungan dengan Israel, sempat tercatat dalam keanggotaan Yayasan Shimon Peres, memisahkan Polri dari TNI, mengembalikan nama Papua, merintis perdamaian dengan GAM di Aceh, dan banyak "pluralisme" lain.

Menurut mantan Ketua PWNU Jawa Timur, Dr. KH. Ali Maschan Moesa, MSi, pemikiran "pluralisme" Gus Dur itu tak dapat dilepaskan dari NU dan Indonesia.

"NU dan Indonesia mengajarkan Gus Dur tentang dialektika hubungan antara agama dan negara, sehingga Gus Dur melihat pentingnya toleransi, menghargai kemanusiaan, dan sikap yang moderat bagi orang Indonesia," katanya.

Oleh karena itu, kepemimpinan Gus Dur di PBNU (1984-1999) mengispirasi "Guru Bangsa" itu untuk memperkuat keputusan Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1935 bahwa umat Islam tak berkewajiban mendirikan negara Islam.

"Karena itu, Gus Dur selama memimpin PBNU pun memperkuat perumusan Pancasila dan Proklamasi kemerdekaan Indonesia. Nasionalisme adalah dasar pendirian bangsa Indonesia, begitu kata Gus Dur. Gus Dur sangat Pancasilais, beliau mementingkan Bhinneka Tunggal Ika atau Berbeda Tapi Satu," katanya.

Ali Maschan menilai pendekatan pemikiran ala NU yang melihat persoalan Indonesia secara majemuk itulah yang ingin diwariskan Gus Dur kepada bangsa Indonesia yang memiliki Pancasila.

"Tanpa pemikiran yang moderat ala NU, konflik akan selaku berkembang di masyarakat yang majemuk seperti Indonesia," katanya.

Selama hidupnya, Gus Dur selalu mementingkan kepentingan orang banyak, baik umat Islam maupun umat non-Islam. "Gus Dur tidak pernah membeda-bedakan orang, siap berbeda pendapat tanpa harus bermusuhan," katanya.

Hal itu juga dibenarkan Ketua II Pengurus Pusat Majelis Muslim Papua (MMP), Fadhal Alhamid.

"Di era Gus Dur, kebebasan berkumpul, berserikat dan berekspresi diberikan seluas-luasnya, termasuk untuk rakyat Papua dalam hal menentukan identitasnya. Beliau memberi izin Kongres Rakyat Papua pada tahun 2000, beliau mengembalikan nama Papua," katanya.

"Perbedaan itu kekuatan," demikian warisan berharga dari `Sang Guru Bangsa` yang mengingatkan jatidiri bangsa Indonesia yang majemuk dan memiliki semboyan `Bhinneka Tunggal Ika.(*)

Oleh Edy M. Ya`kub
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009