Jakarta (ANTARA News) - Abdurrahman Wahid baru saja wafat, saya mengenalnya pada pertengahan 1990an, tatkala rezim Soeharto lagi kuat-kuatnya mengakar, dan Gus Dur --sapaan akrabnya-- menjadi tumpuan harapan kaum demokrat dan liberal.

Posisinya sebagai figur kunci dalam gerakan oposisi terhadap kediktaturan menjadi lebih mudah, mengingat fakta bahwa dia adalah keturunan para pemimpin Muslim yang mengakar kuat di Jawa.

Secara kultural dia itu toleran, jenaka, liberal, fasih berbahasa Inggris, dan secara intelektual canggih.

Suatu waktu saya bepergian dengannya ke Jawa Tengah untuk menyaksikannya memimpin perayaan keagamaan di satu kampung yang baru saja mengklaim telah membuat kitab suci Alquran terbesar di dunia.

Di perjalanan, dia mengisahkan satu lelucon yang menandakannya bukan pemimpin Muslim biasa biasa.

"Coba Anda perhatikan" katanya, "Ketika orang Yahudi berdoa, mereka berdiri depan dinding, bergumam. Orang Kristen berlutut dan berbicara sangat pelan. Tetapi kami orang Muslim, berdiri di menara dan memekik lewat pengeras suara. Anda pikir saja, siapa coba yang lebih dekat dengan Tuhan?" Katanya diakhiri tertawa ngakak.

Toleransi agama itu fundamental bagi Wahid. Dia menceritakan kisah sewaktu menjadi mahasiswa di Baghdad pada 1969, manakala sembilan orang Yahudi digantung di muka umum di Lapangan Pembebasan (Sahat al Tahrir). Pengalaman itu menghantuinya.

Gus Dur juga membuat dirinya sendiri tidak populer di Indonesia karena membela Salman Rushdie. Kepada Gus Dur, istri saya mengadukan seorang ulama di kampung yang dikunjunginya, telah menyebut "Rushdie terlaknat" dalam khutbahnya. Gus Dur menjawab singkat, "Kami tak sependapat dengan itu (mengutuk Salman Rushdie)."

Kendati dihormati sebagai perlambang budaya Jawa, Gus Dur jauh dari selimut mistik. Selama perjalanan menuju kampung itu, dia bercerita bahwa dia baru saja mengunjungi Soeharto di Istana Negara dan menghabiskan beberapa jam bersama sejumlah dukun yang mengitari Sang Presiden.

"Mereka ngomong apa?", tanya saya dengan nafas tertahan. "Nggak tahu," jawabnya, "Saya nggak faham satu pun kata yang mereka omongkan." Lagi-lagi ngakak.

Gus Dur sakit parah. Pandangannya terganggu. Beberapa tahun kemudian, dia mengalami kecelakaan akibat tabrakan kendaraan. Tidak mengherankan jika masa pemerintahannya yang pendek pasca Soeharto, tak bisa disebut berhasil.

Namun saya tetap bahagia menyaksikan sebagian besar obituari tentang Gus Dur mencatatnya sebagai figur kunci dalam era transisi Indonesia menuju demokrasi. (*)

Gideon Rachman adalah Kepala Redaksi Luar Negeri koran terkemuka Inggris Financial Times, mantan wartawan BBC dan the Economist, kontributor jurnal politik prestisius Washington Quarterly dan majalah Prospect, Inggris.

Disadur Jafar Sidik dari blog Gideon Rachman

Oleh Gideon Rachman
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010