Sakhnin, Israel (ANTARA News/AFP) - Krisis Gaza membuat warga Israel keturunan Arab terperangkan antara  ketakutan menyuarakan solidaritasnya untuk warga Palestina dan desakan untuk mengutuk serangan gencar (Israel) menyusul dilarangnya dua partai Arab dalam mengikuti pemilihan umuman bulan depan.

"Negara kami (Israel) sedang berperang melawan bangsa kami Palestina," kata Gazal Abu Raya, seorang Arab Israel dan kepala Jewish-Arab Institute for Peace di Sakhnin, kawasan utara Galilee.

Sakhnin yang berpenduduk 25 ribu orang Arab, adalah tempat dimana terjadi demonstrasi sekitar 100 ribu warga Israel keturunan Arab pada 3 Januari yang memprotes ofensif Israel ke Gaza seminggu setelah dimulainya serangan itu.

Begitu jumlah korban meninggal kian bertambah, demonstrasi spontan menentang perang terjadi di seantero Galilee -- kawasan berpenduduk 1,4 juta komunitas Israel berbangsa Arab-- yang mengambil porsi 20 persen dari total penduduk Israel.

Polisi Israel meningkatkan penjagaaannya di daerah utara itu, termasuk di pos-pos pemeriksaan jalan.

"Selama 60 tahun, kami diuji loyalitas (kepada negara Israel)," kata Abu Raya.

Warga Israel Arab yang kebanyakan keturunan dari 160 ribu warga Palestina yang tetap tinggal di Israel manakala negara Yahudi itu dibentuk pada 1948, mengkhawatirkan konsekuensi penolakan mereka atas ofensif Israel ke Gaza.

Senin kemarin, komisi pemilihan umum Israel mendiskualifikasi dua partai Arab dari keikutsertaannya pada pemilu 10 Februari 2009 menyusul sebuah mosi yang diajukan dua partai ultra kanan Yahudi yang menuduh mereka tidak mengakui hak hidup negara Israel.

"Jelasnya, sayap kanan adalah pihak terkuat yang mendukung perang. Israel tengah menjual popularitas murahan di jalanan," kata Jamal Zahalqa, kepala salah satu dari dua fraksi partai Arab (Majelis Demokratik Nasional) dalam parlemen Israel.

Mahkamah Agung akan memutuskan larangan KPU Israel kepada dua partai Arab itu minggu depan.

Jika larangan itu disahkan MA, Zahalqa mengingatkan akan ada boikot Arab terhadap pemilu nanti dan krisis akan memperparah perpecahan di kalangan penduduk Yahudi.

"Jika kami tidak berpartisipasi dalam proses pemilu dan berlaku dibawah legitimasi poilitik, maka kami akan mengkajiulang strategi kami.  Akan semakin banyak orang yang menuntut adanya parlemen Arab (di Israel)," kata Zahalqa.

"Akan ada krisis diantara minoritas Palestina dan mayoritas (Yahudi)."

Keputusan komisi pemilu adalah bentuk rasisme dan intimidasi, kata Walikota Sakhnin, Mahmud Abu Raya, yang tidak berafiliasi ke partai manapun. "Kami akan memboikot pemilu nanti sebagai tanda protes."

Gazal Abu Raya, yang sekabilah dengan Mahmud, mengakui bahwa sekarang adalah masa-masa sulit bagi kelangsungan hubungan sosial yang gampang retak dengan warga Yahudi di Israel utara.

Dia menyatakan lembaganya tengah berupaya menjembatani dan menjadi penengah untuk Palestina dan warga Israel.

"Tidaklah nyaman manakala anda melihat gambar-gambar anak-anak dan wanita mati di Gaza," kata Gazal Abu Raya.

Pemimpin komunitas kristen ortodoks Yunani di Sakhnin, pendeta Salah Khoury, telah mengorganisasikan kampanye pengiriman makanan dan pakaian ke Gaza, namun mereka juga mengkhawatirkan konsekuensi dari dukungannya pada warga Palestina di kantong Palestina itu.

"Kami berpihak pada rakyat Gaza, namun kami tak ingin sikap itu membahayakan kami.  Kami ingin tetap tinggal di tanah kami. Kami takut. Sayap kanan Yahudi melihat kami sebagai musuh mereka,"  kata pendeta Arab Palestina warga Israel ini.

Khalil Nakhleh, seorang peneliti Palestina untuk konflik Arab-Israel yang berada di Tepi Barat, sepakat dengan kekhawatiran saudara-saudaranya yang menjadi warga Israel itu.

"Umumnya, warga Arab di Israel merasa mereka tidak diinginkan menjadi warganegara Israel (oleh Israel)," katanya.  (*)

Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009