Jakarta (ANTARA) - Menjelang pemilihan presiden Amerika Serikat pada November mendatang, mantan duta besar AS untuk Indonesia Robert Blake memperkirakan hubungan antara AS dan China akan memiliki dinamika yang berbeda apabila calon presiden Partai Demokrat Joe Biden terpilih.

Dalam seminar virtual bertajuk ‘US Update: America at the Crossroad 2020’ yang digelar oleh Foreign Policy Community Indonesia (FPCI) dari Jakarta, Jumat, Robert Blake mengatakan bahwa kedua calon presiden, baik Joe Biden maupun petahana Presiden Donald Trump dari Partai Republik, akan berhati-hati dalam membentuk citra terkait hubungan dengan China.

“Kedua kandidat akan berhati-hati untuk membuat citra diri sebagai (pimpinan AS) yang keras terhadap China. Mereka tidak akan mau disebut sebagai terlalu lembut terhadap China,” kata Blake, yang menjabat sebagai Duta Besar AS untuk Indonesia dari 2014 hingga 2016.

Meski demikian, cara kedua kandidat berhubungan dengan China akan berbeda. Dalam masa kepemimpinannya, Presiden Trump lebih banyak menunjukkan kebijakan ‘anti-China’, namun menurut Blake, pendekatan Joe Biden akan lebih ke arah mengambil peran sebagai pemimpin jika ia terpilih sebagai presiden.

“Saya rasa perbedaan terbesar dalam cara keduanya berhubungan dengan China adalah Joe Biden akan bekerja sama dengan negara-negara sekutu, seperti Jepang, Korea Selatan, dan blok seperti Uni Eropa untuk menekan China agar merubah perilakunya,” katanya.

Penekanan untuk perubahan perilaku itu khususnya fokus pada isu-isu yang dianggap tidak pantas, seperti pencurian kekayaan intelektual dan beberapa isu pelanggaran hak asasi manusia.

“Hal lain yang akan dilakukan Biden, yang sangat tidak terlihat di agenda Trump, adalah dia akan mencoba untuk meningkatkan investasi AS, alih-alih mengkritisi apa yang dilakukan oleh China, agar AS dapat menjadi lebih kompetitif,” kata Blake.

Untuk mendukung agenda tersebut, Biden pun telah memiliki sejumlah rencana rinci untuk berinvestasi lebih banyak dalam bidang teknologi maju, seperti artificial intelligence, quantum computing, dan jaringan 5G, guna membuat daya saing AS lebih kuat.

“Tak hanya terhadap China, namun juga terhadap negara-negara lain,” katanya.

Dalam segi hubungan bilateral, dia memprediksi Biden juga akan mencari cara untuk membangun kerja sama dengan China.

Menurut Blake, Biden memahami bahwa AS perlu mengambil peran sebagai pemimpin dalam isu-isu ancaman global, seperti perubahan iklim.

Dalam konteks perubahan iklim, Blake menyebut Biden juga memahami bahwa China memiliki kontribusi gas rumah kaca terbesar di dunia.

Dia melihat bahwa AS perlu bekerja sama dengan China, serta mengambil posisi untuk memimpin dunia dalam mengurangi emisi gas rumah kaca, salah satunya dengan mengurangi subsidi negara tersebut pada batu bara.

“Jadi berbeda dari Trump, yang lebih banyak mengejar kebijakan anti-China yang terus menerus, tanpa adanya hasil yang signifikan, kita akan melihat posisi yang lebih nuanced dari Joe Biden,” ujar Blake.

Baca juga: Partai Demokrat resmi usung Joe Biden sebagai capres AS

Baca juga: Joe Biden pilih Kamala Harris sebagai calon wapres AS

Baca juga: Kontra intelijen AS peringatkan soal Rusia, China, Iran campuri pemilu



 

Jokowi-Trump sepakat kerja sama alat kesehatan

 

Pewarta: Aria Cindyara
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2020