Kuala Lumpur (ANTARA News) - Garis polisi melingkari sebuah gereja di Desa Melawati, Jumat pagi, yang letaknya hanya beberapa kilometer dari Kuala Lumpur, Malaysia.

Beberapa polisi terlihat mengumpulkan barang bukti di antara serpihan di sekitar gereja yang dibom orang tak dikenal dan beberapa fotografer sibuk mengambil gambar.

Gereja tersebut merupakan yang rusak paling parah dari tiga gereja yang dibom pada Jumat (8/1) dinihari menyusul kontroversi penggunaan kata ALLAH oleh orang bukan Muslim di negeri jiran, khususnya majalah mingguan Katolik "The Herald".

Dua gereja lain yang dibom hampir bersamaan itu terletak di Petaling Jaya dan Hulu Klang, Sabah.

Beberapa jam setelah bom itu meledak, PM Malaysia Najib Tun Razak mengeluarkan pernyataan resmi mengutuk peristiwa itu.

"Kami tak akan izinkan perdamaian dan saling pengertian yang dimiliki warga Malaysia, yang terdiri atas berbagai etnik dan latar belakang, terancam oleh siapa pun," katanya.

Pada saat bersamaan, PM Najib memerintahkan Kepala Kepolisian Malaysia Musa Hassan meningkatkan keamanan rumah-rumah ibadah.

"Setiap bukti dan perkembangannya akan dilaporkan langsung kepada saya," kata Najib.

Najib meminta rakyat untuk tidak seenaknya menunjuk jari atas dalang pemboman ini, dan biarkan aparat keamanan melakukan investigasi, serta meminta semua masyarakat untuk tenang dan menjaga harmonisasi kehidupan umat beragama.

Pernyataan itu menunjukkan Perdana Menteri Malaysia itu kurang suka dengan pertanyaan para wartawan yang menggiring pemboman tiga gereja terkait dengan banyaknya demonstrasi LSM dan rakyat Malaysia, di antaranya diprakarsai UMNO, yang menolak keputusan pengadilan Kuala Lumpur yang membolehkan majalah mingguan Katolik menggunakan kata "Allah" untuk menyebut nama Tuhannya.

Setidaknya, serangan bom terhadap tiga gereja itu merusak citra program pemerintahan Najib yang dikenal dengan "One Malaysia", yang berupaya membaurkan warga yang terdiri atas Melayu, China, dan India.

Perseteruan

Sebelumnya terjadi perseteruan antara pemerintah Malaysia, khususnya Kementerian Dalam Negeri (KDN) dengan pengelola majalah The Herald tentang penggunaan kata Allah.

Kasus itu kemudian dibawa ke pengadilan.

Walau KDN memberikan izin penerbitan kepada The Herald, lembaga itu tidak membolehkan majalah katolik itu menggunakan kata Allah dalam menyebut nama Tuhan, karena dikhawatirkan menyesatkan umat Islam, dan akan menimbulkan gelombang protes Muslim di Malaysia.

The Herald tidak mau menerima larangan itu. Alasannya, karena kata Allah untuk menyebut Tuhan sudah digunakan sejak ribuan tahun lalu.

Menurut pengelola, hak penganut agama Katolik menggunakan kata Allah dan Undang-undang Dasar Malaysia juga membolehkan pemeluk agama menjalankan kepercayaannya masing-masing, dan kata Allah digunakan hampir di semua negara.

Pada 31 Januari 2009, pengadilan Kuala Lumpur mengeluarkan keputusan bahwa majalah The Herald boleh menggunakan kata Allah dalam penerbitannya.

Tapi, sosok Hakim Lau Bee Lan, warga Malaysia etnis China, yang memutuskan hal itu menimbulkan berbagai kecurigaan di kalangan Melayu yang identik dengan Muslim.

Menurut Lau Bee Lan, majalah The Herald mempunyai hak untuk menggunakan kata Allah dalam penerbitannya untuk menyebarluaskan agama Kristen dan bukannya agama Islam. Hal itu dilindungi UUD Malaysia.

Ia mengemukakan, dalam pasal 11 (4) Perlembagaan Persekutuan (UUD), disebutkan, menjadi kesalahan bagi bukan Islam untuk menggunakan perkataan "Allah" kepada umat Islam untuk menyebarluaskan agama itu. Tapi bukan kesalahan jika digunakan kepada non-muslim, katanya.

Pengadilan juga melihat KDN tidak mampu menunjukkan bukti bahwa penggunaan kata Allah dalam penerbitan The Herald menyesatkan umat Islam di Malaysia.

Keputusan pengadilan tersebut menimbulkan protes Muslim di berbagai kota. UMNO banyak memprakarsai aksi protes tersebut. Partai politik Islam PAS (Partai Islam SeMalaysia) yang biasanya keras, menyatakan memahami keputusan pengadilan namun tetap minta KDN mengajukan banding.

Karena berbagai protes yang terus meluas, KDN mengajukan permohonan kepada pengadilan Kuala Lumpur, pada 4 Januari, untuk menangguhkan pelaksanaan keputusan tersebut.

Dua hari setelah itu, pengadilan mengeluarkan keputusan menangguhkan pelaksanaan keputusan pengadilan Kuala Lumpur terkait penggunaan kata tersebut oleh majalah Katolik.

Tapi, penangguhan itu tidak membuat negeri itu semakin tenang. Bom justru meledak di tiga gereja dua hari setelah penangguhan keputusan pengadilan tersebut.

Pemeluk agama kristen di Malaysia umumnya adalah etnis China dan India. Penganut Kristiani terbesar ada di Sarawak dan Kota Kinabalu (Malaysia Timur dan Kalimantan bagian Utara).

Antisipasi

Serangan bom itu membuat prihatin para pemimpin Barisan Nasional, UMNO, dan oposisi. Menteri pariwisata Malaysia Ng Yen Yen meninjau gereja di Desa Melawati yang porak-poranda akibat serangan bom sambil mengutuk aksi tersebut.

Ng Yen Yen, Wakil Presiden MCA (Malaysian Chinese Association) menawarkan markas MCA di Kuala Lumpur sebagai tempat ibadah sementara bagi 1.500 jamaah gereja tersebut.

Ketua Pemuda UMNO Khairy Jamaluddin juga mengunjungi gereja tersebut dan mengatakan hari itu merupakan hari kegelapan dan menyedihkan bagi Malaysia.

Begitu juga dengan Gubernur atau Menteri Besar negara bagian Selangor Khalid Ibrahim, dari partai oposisi PKR. Dia menengok tiga gereja yang dibom yang semuanya berada di wilayahnya. Ia mengutuk serangan bom itu dan mengatakan jalan kekerasan bukanlah suatu solusi.

Para pemimpin gereja Malaysia kemudian mengeluarkan pernyataan bahwa mereka tidak memiliki dendam kepada para ekstremis yang melakukan serangan bom terhadap tiga gereja.

Mereka bahkan telah memaafkan para pelaku serangan bom tersebut dan menyatakan terima kasih kepada pemerintah Malaysia yang telah mengutuk keras aksi teror itu.

Kini, semua gereja dan masjid di Malaysia dijaga ketat polisi sebagai upaya mencegah terjadinya kerusuhan sosial yang lebih parah lagi. (*)

Oleh Oleh Adi Lazuardi
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010