Jakarta (ANTARA) - … Seonggok jagung di kamar tak akan menolong seorang pemuda yang pandangan hidupnya berasal dari buku, dan tidak dari kehidupan…
(Seonggok Jagung di Kamar, karya WS Rendra).

Pandemi COVID-19 yang datang dengan cepat dan tiba-tiba, menyebar ke seluruh dunia membuat semua negara terkejut. Sesuatu yang belum pernah diprediksi sebelumnya menyebabkan perubahan di seluruh sendi kehidupan umat manusia.

Perubahan yang cepat di hampir seluruh kehidupan ini telah membuat negara maupun masyarakat menjadi “gamang”, tak terkecuali menyentuh dunia pendidikan kita di Indonesia.

Pernyataan Iwan Syahril, Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kemendikbud, (25/8/2020) tentang banyaknya guru yang tidak percaya diri membuat metode pembelajaran yang sederhana selama pandemi.

Dalam masa pandemi ini juga tugas guru bukan menuntaskan kurikulum, tetapi membuat pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang menyenangkan, seakan menyiratkan bahwa dunia pendidikan kita “gamang” menghadapi perubahan yang cepat dan tiba-tiba.

Dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa, pengertian pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran supaya siswa dapat aktif mengembangkan pola pikir dirinya untuk memiliki kekuatan nilai religius, mengontrol diri, jati diri, etika, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Secara umum memang tidak ada yang salah dari definisi yang ada dalam undang-undang di atas, tapi pada pelaksanaannya ada sesuatu yang seperti hilang dan terlepas dari ruh dan semangat undang-undang tersebut.

Kurikulum sebagai turunan dari undang-undang tersebut, yang juga merupakan respons pendidikan terhadap perubahan zaman, belum menyentuh inti dari makna yang terkandung dalam undang-undang tersebut.

Kurikulum 2013 sudah mengacu pada definisi pendidikan menurut undang-undang, di mana nilai-nilai spiritual dan karakter mendapat penekanan yang sangat besar dan bagus.

Kebijaksanaan Merdeka Belajar juga sesungguhnya mengarah kepada kemerdekaan guru untuk lebih leluasa mengembangkam kreativitas guru, atau pembuatan materi ajar dalam situasi pandemi sekarang, tapi sayang perubahan-perubahan kurikulum, termasuk kurikulum 2013, kurang menyentuh pada taraf pengajaran di akar rumput (guru dan murid).

Secara umum pengajaran kita di kelas masih melakukan cara-cara lama. Siswa hanya mengerjakan apa yang diperintah guru dalam waktu yang sudah ditentukan.

Siswa tidak mempunyai otonomi untuk menentukan apa yang ingin dikerjakan, dan dalam waktu yang diinginkan. Siswa harus mengetahui semua pelajaran, bukan kompetensinya yang diukur.

Potensi-potensi/bakat/passion siswa kurang bisa dikembangkan secara maksimal, serta sistem pengajaran di kelas yang kurang interaktif.

Sinyalemen ini juga dinyatakan oleh Menteri Pendidikan Kebudayaan RI Nadiem Makarim pada acara Hari Guru Nasional Tahun 2019.

Masa pandemi ini diharapkan bisa mereposisi kembali pegajaran kita agar kembali kepada jati diri bangsa, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan cara mendekatkan diri kepada kehidupan, dimana karakter dan spiritualitas menjadi kunci dari kesuksesan dalam setiap perubahan.

Lalu pertanyaannya apakah mungkin pembelajaran karakter dan spiritual bisa dilangsungkan dalam suasana pembelajaran jarak jauh (PJJ)?

Johnson dan William (2010) dalam penelitiannya menyatakan bahwa PJJ bisa saja efektif dalam pembentukan karakter.

Pertama, orientasi hasil kerja dan kekuatan disiplin diri. Kemandirian dalam pembelajaran, pendekatan analitis dan pembelajaran yang lebih dalam, imajinasi dan kreativitas, apresiasi sastra, motivasi untuk melanjutkan pendidikan.

Kedua, karakter relasional dan kekuatan pikiran terbuka, berbagi pembelajaran dengan orang lain, meningkatkan komunikasi dengan orang lain, dan meningkatkan hubungan.

Ketiga, karakter spiritual dan kekuatan kerendahan hati, iman, harapan, dan cinta kasih dalam beramal.

Al Quran surat Al Hasyr ayat 19-24 memberitahukan kepada kita bahwa orang yang mendapatkan apa yang diinginkan (ash haabul jannah) itu harus mau membaca ayat tertulis dan ayat yang tak tertulis.

Pembelajaran itu harus berangkat dari meng-illah-kan Allah dan kembali kepada meng-illa-hkan Allah.

Metodenya adalah dengan cara mengenal dan sadar apa-apa yang kita tidak tahu dan apa yang kita ketahui (‘aalimul ghaibi wasy-syahadah) baru kemudian dilanjutkan dengan beberapa asmaul husna yang ujungnya adalah al-Mushowwir.

Ayat ini sangat menarik bagi saya, karena bisa dipakai sebagai penunjuk jalan dalam membedah persoalan-persoalan yang ada, termasuk persoalan kependidikan.

Yang pertama, pendidikan harus bisa meningkatkan spiritual para guru dan murid-nya. Kedua, para guru dan muridnya harus tahu dan sadar “ketidaktahuannya” dan harus tahu serta sadar “ketahuannya”.

Untuk menggali “ketidaktahuannya” dan ‘ketahuannya” maka harus dilakukan dengan saling memberi dan menggali dengan kasih dan sayang.

Ajaran orang-orang tua dulu mengingatkan kita agar Sadar Diri. Sadar Waktu, dan Sadar Ruang.

Maka dalam masa pandemi ini peran komunikasi antara orang tua, guru, murid dan lingkungan akan sangat besar artinya dalam pembentuk karakter seorang siswa melalui latihan Sadar Diri, Sadar Waktu, dan Sadar Ruang yang harus dipraktikkan setiap hari dalam rangka pembentukan seorang siswa yang mempunyai karakter dan spiritual yang bagus.

Ajaran tiga sadar ini juga banyak dilakukan dalam latihan-latihan berkesenian di Indonesa.

Sadar diri adalah latihan kesadaran akan keberadaan seorang murid terhadap status dan keberadaan yang disandangnya. Ada kewajiban yang harus dilaksanakan sehubungan dengan statusnya.

Status sebagai makhluk Tuhan YME, status seorang anak di rumah, status seorang pelajar, status seorang anggota masyarakat dan lain sebagainya. Maka latihan kewajiban melaksanakan semua status harus diberikan kesadaran dan penilaian yang baik dan adil oleh guru, orang tua dan masyarakatnya.

Sadar waktu, adalah pelatihan kesadaran untuk mengelola waktu agar mempunyai efek tepat guna. Kesadaran bahwa waktu itu adalah sangat sakti, dan bisa membuktikan kerja seseorang harus tanpa rekayasa.

Kesadaran akan waktu harus diisi dengan kreativitas dan hal-hal yang bermanfaat untuk mengembangkan potensi “ketahuan” dan “ketidaktahuannya” agar berubah menjadi “tahu” yang bermanfaat untuk diri dan orang sekitarnya.

Sementara sadar ruang adalah proses latihan seorang murid agar seorang murid dapat melihat alam lingkungan sekitarnya dengan nilai-nilai yang positif, dari ruang yang terkecil, tempat tidur, ke kamar tidur, ke rumah, ke halaman, ke masyarakat sekelilingnya dan terus berkembang ke dunia luar.

Latihan sadar ruang ini harus cepat tahu dan tanggap dengan apa yang harus dilakukan terhadap ruang sekelilingnya.

Biasanya pengenalan sadar diri, sadar waktu dan sadar ruang itu dimulai dari bangun pagi, kemudian shalat/beribadah, menyapu ruang kamar, rumah, dan sekitarnya. Tujuan dari pelatihan sadar ruang adalah agar siswa bisa responsif terhadap keadaan sekelilingnya.

Sadar diri, sadar waktu dan sadar ruang inilah yang harus digali dalam “aalimul ghaibi wasy syahadah” dengan metode ‘Arrohman-Arrohiim”, sehingga para guru dan murid dengan cepat sadar beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya.

Masa pandemi ini adalah saat yang tepat untuk mereposisikan kembali pengajaran kita di sekolah bersama orang tua dan masyarakat untuk membentuk karakter dan spiritual anak-anak kita belajar dari kehidupan di sekitar kita.

Kesadaran diri, kesadaran waktu dan kesadaran ruang yang terus dikembangkan akan membentuk karakter dan spiritual yang unggul anak-anak kita dan kelak menjadi bonus demografi bagi bangsa Indonesia.

*) Nanang Sumanang adalah guru Sekolah Indonesia Davao.

Copyright © ANTARA 2020