Tulungagung, Jatim (ANTARA) - Pegiat Lembaga Perlindungan Anak Kabupaten Tulungagung mengingatkan potensi meningkatnya kasus kekerasan anak selama pandemi COVID-19 yang telah berlangsung sejak Maret, imbas metode pembelajaran daring yang menyebabkan siswa lebih banyak beraktivitas di rumah.

"Situasi pandemi saat ini menuntut orang tua dapat berinteraksi langsung lebih banyak dengan anak-anak, saat mereka mengikuti proses pembelajaran daring. Orang tua banyak yang belum siap dengan situasi seperti itu, sehingga berpotensi memunculkan kekerasan pada anak," kata Direktur LPA Tulungagung Winny Isnaini saat membuka acara webinar bertema 'Simalakama Pembelajaran Tatap Muka di Jawa Timur' yang digelar Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Tulungagung bekerjasama dengan komunitas Jurnalis Sahabat Anak (JSA) dan UNICEF, Rabu.

Winny menunjukkan data kekerasan anak di Jawa Timur selama kurun Januari-Juli 2020 yang telah mencapai 523 kasus, termasuk kekerasan seksual yang menjadi angka kejadian tertinggi, yakni sebanyak 234 kasus.

Selain itu, pengaduan terkait kekerasan fisik, kekerasan psikis, penelantaran, trafficking, eksploitasi, dan lainnya sporadis terjadi dan menjadi masalah yang harus diperhatikan.

Baca juga: KPPPA sebut kekerasan seksual harus jadi perhatian bersama

Baca juga: Kasus tindak pidana di NTT didominasi kekerasan seksual anak


Ironisnya, lanjut Winny, mayoritas kasus kekerasan anak tersebut justru terjadi di lingkungan pembelajaran kilat.

"Ini yang harus diwaspadai. Pemerintah perlu memikirkan hal ini juga, serta mengambil langkah-langkah pencegahan," kata Winny Isnaini, yang juga tercatat sebagai fasilitator nasional sistem perlindungan anak.
Webinar bertema Simalakama Pembelajaran Tatap Muka di Jawa Timur' yang digelar Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Tulungagung bekerjasama dengan komunitas Jurnalis Sahabat Anak (JSA) dan UNICEF, Rabu (2/9/2020) (IST)


Penekanan lain tentang perlunya keterlibatan aktif anak juga disampaikan Kepala Kantor Perwakilan Unicef Wilayah Pulau Jawa, Arie Rukmantara.

Ia mengatakan, dalam membuat keputusan mengenai sistem pembelajaran yang akan dijalankan selama pandemi, suara anak juga perlu didengar.

Apakah tetap menjalankan pembelajaran jarak jauh atau mulai kembali bertatap muka. Hal terpenting dalam pembuatan keputusan adalah kepentingan anak-anak, termasuk kesehatan mental dan fisiknya.

"Penting untuk melihat kesiapan anak atas persetujuan dengan orang tua, kondisi psikososial anak, serta tetap memperhatikan dan menjalankan protokol kesehatan sebelum memutuskan kembali bersekolah tatap muka," ujar Arie.

Sementara itu, terkait situasi pro-kontra pelaksanaan pembelajaran secara daring maupun tatap muka, Dewan Pendidikan Jawa Timur mengingatkan pemerintah agar tetap melaksanakan kewajiban mereka memenuhi hak pendidikan anak-anak di Jawa Timur, meskipun dalam situasi pandemi seperti saat ini.

"Pendidikan itu hak setiap orang maupun anak-anak. Untuk itu pemerintah tetap harus melaksanakan, meski dalam situasi saat ini dimana kesehatan menjadi prioritas utama," kata Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur Isa Anshori.

Sebab menurut Isa, saat ini sebanyak 80 persen dari 5.237 guru yang dijadikan responden dalam sebuah survei menunjukkan bahwa mereka sudah siap menjalankan proses pembelajaran tatap muka.

Pemprov Jawa Timur sendiri saat ini baru memulai uji coba sekolah tatap muka tahap kedua, untuk siswa SMA/SMK sederajat.

Uji coba kedua dilaksanakan pada 25 persen dari seluruh sekolah SMK di Jawa Timur mulai 31 Agustus 2020. Disusul 25 persen lagi di tingkat SMA mulai 7 September 2020.

"Jumlah siswa yang dimasukkan untuk daerah dengan zona kuning sebanyak 50 persen, sedangkan zona oranye sebanyak 25 persen dari jumlah siswa," kata Sekretaris Dinas Pendidikan Jawa Timur Ramliyanto. (*)

Baca juga: Menteri PPPA sebut Sulsel mampu minimalisas tindakan kekerasan anak

Baca juga: Ligislator prihatin tingginya kekerasan seksual perempuan-anak Kaltim

Pewarta: Destyan H. Sujarwoko
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020