Hampir semua rakyat Indonesia tidak setuju dengan ideologi khilafah. Persatuan Indonesia tumbuh dari kesadaran partisipatif semua elemen warga bangsa, bukan karena adanya paksaan sentralistik sebagaimana ditawarkan melalui sentralisme khilafah
Jakarta (ANTARA) - Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Muayyad Windan, Sukoharjo KH Drs Muhammad Dian Nafi M Pd mengatakan bahaya bila ideologi khilafah tumbuh di Indonesia karena hanya akan menimbulkan perpecahan, disintegrasi hukum, diskontinuitas sistem sosial politik, dan akhirnya Indonesia hanya menjadi "pasar" bagi kekuatan-kekuatan besar di dunia.

“Hampir semua rakyat Indonesia tidak setuju dengan ideologi khilafah. Persatuan Indonesia tumbuh dari kesadaran partisipatif semua elemen warga bangsa, bukan karena adanya paksaan sentralistik sebagaimana ditawarkan melalui sentralisme khilafah," kata Dian Nafi dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.

Dia menegaskan bahwa realitas sejak ratusan tahun silam telah membentuk watak demokratis pada warga masyarakat Indonesia yang bersatu karena kesetaraan (musawah), kemerdekaan (hurriyah), dan persaudaraan (ukhuwwah).

Menurut dia, hukum nasional di Indonesia dibangun secara gradual dari semua panduan utama yang hidup di dalam masyarakat bangsa Indonesia sejak sebelum kemerdekaan. Legislasi panduan-panduan utama hidup itu berlangsung secara musyawarah untuk menjadi hukum positif yang dihormati bersama.

"Peraturan perundang-undangan yang dibangun, berimplikasi luas dalam kehidupan sosial, seperti perihal perkawinan, pengasuhan anak, hukum waris, zakat, infak, wakaf dan sengketa ekonomi syariah telah dapat diangkat menjadi regulasi yang lebih menjamin kepastian hukum bagi warga negara. Capaian pembangunan hukum serupa ini justru belum terbukti dapat dicapai saat khilafah diterapkan,” tutur lulusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sebelas Maret itu.

Oleh sebab itu, Dian Nafi mengingatkan kepada seluruh masyarakat untuk mewaspadai ideologi khilafah dan ideologi-ideologi internasionalis lainnya, karena hal tersebut dapat membawa ekonomi Indonesia kepada pasar bebas, yang merupakan agenda pokok kekuatan neoliberal.

Baca juga: Peneliti: Paham Khilafah juga harus dilawan dengan gagasan

Baca juga: Akademisi: Ideologi Pancasila harus dipertahankan cegah radikalisme


"Gagasan sistem khilafah ini mengaburkan batas-batas nasional padahal kendali negara atas kesatuan ekonomi mutlak dibutuhkan, maka gagasan-gagasan yang mengaburkan batas-batas nasional itu patut diwaspadai membuka jebakan untuk menjadikan Indonesia sebagai pasar belaka bagi kekuatan-kekuatan neoliberal," tutur-nya.

Ia mencontohkan negara-negara Timur Tengah yang pernah dieksploitasi sebagai lahan uji coba sistem khilafah kini justru rusak tidak karuan.

Menurut dia, ada kemungkinan tawaran sistem khilafah ini memamg berangkat dari semacam halusinasi karena ketidakberhasilan untuk mengikuti kenyataan yang ada.

"Cara-cara berpikir yang dekat dengan realitas telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW saat memprakarsai Piagam Madinah. Piagam itu terbukti menginspirasi lahirnya konstitusi negara modern yang berbasis kepada negara bangsa atau 'nation state'," ujarnya.

Ia menuturkan bahwa cara yang bagus untuk mengerti bahwa ideologi khilafah tidak sesuai dengan ideologi bangsa adalah dengan penelusuran sejarah perjuangan bangsa dan pendalaman terhadap teladan Nabi Muhammad SAW di dalam merintis konstitusionalisme.

"Di lini kesatuan bangsa terus menerus melakukan pendidikan kesatuan ideologi Pancasila dan bela negara. Di bidang komunikasi dan informasi melakukan literasi media kepada warga negara dan menghentikan penetrasi muatan-muatan pro-khilafah di berbagai media digital dengan terus menerus meningkatkan daya pilih atau selektivitas warga masyarakat terhadap muatan-muatan ideologis yang berbahaya," tutur-nya.

Pria yang juga Wakil Rais Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdatuh Ulama (PWNU) Jawa Tengah itu juga berpesan agar pemerintah menguatkan kapasitas masyarakat agar tidak terkena paham intoleran.

Pewarta: Joko Susilo
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2020