Jakarta (ANTARA) - Suaka Satwa Banteng (SSB) Taman Nasional Baluran untuk pertama kalinya mengembalikan dua individu banteng jawa hasil pengembangbiakan eksitu ke habitat alaminya pada Kamis (3/9).

Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wiratno yang melepasliarkan spesies terancam punah bernama latin Bos javanicus tersebut dalam keterangan tertulisnya diterima di Jakarta, Sabtu, mengatakan peristiwa itu menjadi momen bersejarah di bidang konservasi banteng jawa.

Menurut dia, pelepasliaran banteng jawa jantan bernama Tekad yang lahir pada 9 Juli 2014 dan Patih yang lahir pada 23 Mei 2016 hasil pengembangbiakan eksitu ke habitat alaminya di Banyuwangi, Jawa Timur, tersebut baru pertama terjadi di Indonesia.

Pergerakan kedua banteng tersebut akan terus dipantau secara digital dengan GPS Collar bantuan Copehangen Zoo. Selain itu, pemantauan juga dilakukan secara manual dengan mengikuti pergerakan banteng dan mencatat mencatat perilaku banteng selama tiga bulan.

Baca juga: TN Baluran kembangbiakkan banteng Jawa

Baca juga: Ingin lihat banteng jawa? Datanglah ke Taman Safari


Saat ini hanya tersisa kurang dari 5.000 ekor banteng jawa di alam. Namun, populasi banteng liar di Baluran selama lima tahun terakhir menunjukkan tren peningkatan populasi yang menggembirakan, katanya.

Dari estimasi 44 sampai dengan 51 individu di 2015, meningkat menjadi 124 sampai dengan 140 individu di 2019. Estimasi populasi tersebut didapatkan dari analisa data kamera trap yang dilakukan setiap tahun.

Wiratno mengatakan jika saat ini kantong populasi utama banteng jawa di Pulau Jawa hanya tersisa di Taman Nasional Baluran, Taman Nasional Alas Purwo, Taman Nasional Meru Betiri dan Taman Nasional Ujung Kulon.

Namun, menurut dia, keempat habitat alami tersebut sudah terisolasi oleh area pemukiman dan budi daya, yang tidak memungkinkan bagi banteng-banteng tersebut untuk saling terhubung yang dalam jangka panjang, sehingga bisa mengakibatkan turunnya kualitas genetik dan berdampak pada berbagai hal, seperti penyakit genetik hingga potensi banteng menjadi kerdil.

Taman Nasional Baluran juga terus melakukan upaya pemulihan populasi banteng jawa di alam, salah satu upayanya yaitu dengan menurunkan ancaman kelestarian banteng, seperti menindak pelaku perburuan liar dan juga penanganan terhadap spesies invasif Acacia nilotica seluas 6.000 hektare yang telah mengganggu habitat banteng jawa di Taman Nasional Baluran.

"Dengan kemampuan reproduksi yang relatif cepat, di mana hampir setiap tahun banteng mampu bereproduksi, optimisme populasi banteng dapat pulih di Taman Nasional Baluran sangat tinggi, disamping juga upaya untuk menyiapkan habitat ideal bagi banteng," kata Wiratno.

 

Peran SSB

Suaka Satwa Banteng (SSB) Taman Nasional Baluran merupakan sebuah lokasi yang di bangun untuk mendukung program perkembanganbiakan banteng jawa agar mempercepat pemulihan populasi spesies yang terancam punah itu, serta untuk memperkaya keragaman genetik banteng yang ada di taman nasional di sisi utara bagian timur Pulau Jawa tersebut.

Wiratno mengatakan SSB merupakan salah satu strategi untuk mengintervensi faktor alam yang sudah sulit terjadi. Fasilitas itu dijadikan sebagai gene pool yang berfungsi untuk menampung banteng dari berbagai kantong populasi, untuk kemudian dikembangbiakan agar menghasilkan individu banteng dengan variasi genetik yang lebih beragam.

"Anakan dari Suaka Satwa Banteng inilah yang nantinya dilepasliarkan ke alam sebagai fresh blood untuk menjaga variasi genetik populasi di alam tetap terjaga," ujar Wiratno menjelaskan pelepasliaran dengan cara soft release.*

Baca juga: Gitaris Mr D kampanyekan penyelamatan banteng Jawa

Baca juga: Populasi banteng jawa di TN Baluran mengkhawatirkan


Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020