Sana`a,(ANTARA News) - Yaman, yang dilanda kemiskinan, menghadapi ancaman Al-Qaida, gerilyawan Syiah di bagian utara dan aksi separatis Yaman selatan, tapi kekurangan air membuat ibu kota kunonya menghadapi risiko yang bahkan lebih besar, kata banyak ahli.

Mereka memperingatkan dalam waktu satu dasawarsa, atau bahkan kurang, Sana`a dapat menjadi ibu kota pertama yang tak memiliki air di dunia, dan menambahkan kondisinya juga suram bagi bagian lain negeri itu --tempat sumur di beberapa bagian sudah kering, sebagaimana dikutip dari AFP.

Satu konferensi di London, Rabu (27/1), dijadwalkan membahas upaya antiteror Yaman, tapi tidak jelas apakah masalah air yang dikatakan banyak ahli lebih mungkin untuk menciptakan ketidakamanan juga masuk di dalam daftar.

Sengketa air dan kerusuhan di negara yang kebanyakan terdiri atas suku tersebut dapat menjepit gerakan perjuangan pemerintah, dan merusak kestabilannya untuk tetap memusatkan perhatian pada situasi keamanan yang kian mengkhawatirkan.

Amerika Serikat dan negara besar Eropa, yang prihatin terhadap kemungkinan kemunculan kembali Al-Qaida, telah menekan Sana`a agar mendongkel gerilyawan garis keras tersebut. Yaman menyatakan negara itu memerlukan senjata, pelatihan dan dana untuk melakukan itu.

"Situasi di Yaman dengan cepat memburuk dalam menghadapi beberapa tantangan, yang semuanya memiliki potensi untuk berkembang jadi krisis serius dalam waktu lima tahun ke depan," kata Badan Amal Carnegie bagi Perdamaian Internasional di dalam satu laporannya tahun lalu.

Sebanyak 80 persen konflik di Yaman, katanya, adalah mengenai air, yang terus digunakan secara lebih cepat dibandingkan sumber daya tersebut dapat terisi kembali. Tingkat pengambilan air di Sana`a diperkirakan empat kali lipat dibandingkan kemampuannya untuk terisi kembali, kata badan amal tersebut.

"Sana`a akan menjadi ibu kota pertama di dalam sejarah modern yang kekeringan," demikian laporan Carnegie.

Dierk Schlutter, ahli mengenai air di lembaga kemanusiaan Layanan Pembangunan Jerman, mengatakan situasi itu dapat terjadi dalam waktu kurang dari satu dasawarsa.

Air tanah yang melayani Sana`a "akan habis pada 2015 atau 2017, tak seorang pun dapat mengatakan secara pasti", kata Schlutter sebagaimana dilaporkan kantor berita Prancis AFP.

Ia menyatakan pemerintah dapat memutuskan untuk memasok ibu kota dengan mobil tangki air, tapi itu akan menaikkan harga air, yang di beberapa kabupaten sudah sama tingginya dengan di berbagai kota besar Eropa, seperti Paris.

Para ahli memperingatkan kenaikan harga tampaknya akan menyulut kemarahan masyarakat. Selama beberapa tahun belakangan, air, kerusuhan telah biasa menjadi masalah, terutama di Yaman selatan.

Yaman adalah salah satu negara paling kering di planet ini, dengan pembagian air per kepala sebanyak 125 meter kubik, sedangkan angka rata-rata global ialah 7.500 meter kubik.

Pembagian air per kepala di bawah 1.000 meter kubik membuat lambat pembangunan, kata PBB. Yaman tetap menjadi negara paling miskin dan paling terbelakang di Jazirah Arab.

Sana`a, yang dibangun pada ketinggian 2.300 meter di atas permukaan laut, memiliki reputasi buruk dalam bidang pasokan air. Sebagian kabupaten tak memperoleh pasokan ,dan yang lain memiliki keran yang airnya berhenti mengalir setiap 20 hari.

Akibatnya ialah ratusan pengebor swasta menyedot air dari sumur yang mengering dan menjualnya dengan menggunakan mobil tangki air serta jerigen besar dan kecil.

Mohammad Maayad, pengebor swasta yang berusia 27 tahun, mengatakan, "Sekarang saya mengebor pada kedalaman 480 meter, tapi ketika memulai, saya hanya biasa mengebor sedalam 400 meter untuk memperoleh air."

Simpanan air di Yaman merosot sedalam dua meter per tahun, demikian peringatan Carnegie di dalam laporannya.

"Hingga Januari 2009, para pejabat Kementerian Pengairan dan Lingkungan Hidup memperkirakan bahwa lebih dari 800 sumur bor swasta beroperasi di negeri itu," kata lembaga tersebut.

Sebaliknya, hanya terdapat tiga sumur bor swasta di negara lain Timur Tengah, Jordania, dan hanya 100 di India, yang penduduknya lebih dari 50 kali lebih banyak dibandingkan dengan 24 juta warga Yaman.

Mengambil air dari tanah dilakukan secara gratis oleh pengebor seperti Maayad, karena bahan bakar diesel yang mereka perlukan untuk memompa disubsidi oleh pemerintah dan dijual dengan harga 17 sen per liter.

Para pejabat dan ahli internasional menyatakan sebagian besar masalah air di Yaman ditimbulkan oleh qat, tanaman narkotika dengan daya sedang yang dikunyah oleh kebanyakan pria Yaman.

"Qat menyerap empat kali lebih banyak daripada kopi, dan tanaman itu seringkali berada di tangan kepala suku atau apa yang disebut `mafia qat` yang terlalu tangguh untuk diburu oleh pemerintah."

Peraturan 2002 yang bertujuan mengekang penyusutan air tanah melarang pengeboran swasta, tapi peraturan tersebut jarang dilaksanakan, kata Schlutter.

Ia menyatakan penyelesaian masalah air ialah melarang penanaman qat, tapi mengakui bahwa itu tak mungkin dilakukan karena qat sudah berurat-berakar di dalam masyarakat Yaman.

"Itu seperti melarang bir di Jerman atau anggur di Prancis," katanya.

"Namun lima sampai 10 tahun dari sekarang mereka harus memutuskan: mengunyah qat atau memberi air kepada anak mereka," kata Schlutter.

"Pemerintah bagai menghadapi buah simalakama: Jika mereka mengurangi produksi qat, mereka akan menghadapi reaksi keras dari suku dan produsen, tapi kalau mereka tak melakukannya, mereka akan menghadapi demonstrasi mengenai air," tambahnya.(*)

Pewarta:
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2010