Jakarta (ANTARA) - Pulse oximeter digunakan salah satunya untuk mendeteksi dini jika level oksigen pasien COVID-19 turun sehingga tak mengarah pada terjadinya happy hypoxia yang bisa berujung kematian.

Masuknya virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 ke tubuh melalui sistem pernapasan, menyebabkan cedera langsung pada paru-paru melalui peradangan dan pneumonia dan berdampak negatif pada seberapa baik oksigen ditransfer ke aliran darah.

Kerusakan oksigen dapat terjadi pada berbagai tahap COVID-19, dan tidak hanya pada pasien sakit kritis yang membutuhkan ventilator.

Namun, di sisi lain, ada pasien COVID-19 bisa memiliki tingkat oksigen yang sangat rendah tetapi tampak baik-baik saja dan kondisi inilah yang disebut happy hypoxia.

"Kondisi ini mengkhawatirkan karena pasien-pasien ini mungkin lebih parah sakitnya daripada yang mereka rasakan, yang tentunya membutuhkan perhatian lebih dalam pengaturan medis," ujar ahli pulmonologi, Tim Connolly dalam laman resmi Houston Methodist, pusat medis akademik di Texas Medical Center.

Baca juga: Happy hypoxia, siapa yang perlu punya oximeter di rumah?

Baca juga: Dokter: Happy hypoxia COVID-19 hanya terjadi pada orang dengan gejala


Menurut dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, Vito Anggarino Damay, oximeter salah satunya perlu ada untuk mereka dengan gejala COVID-19 ringan yang dirawat mandiri.

"Seseorang yang happy hypoxia mungkin ada gejala yang ringan yang tidak disadari bukan sama sekali tidak bergejala. Mungkin perlu sediakan di rumah untuk mereka yang menderita COVID-19 ringan yang isolasi mandiri," kata dia kepada ANTARA, Senin.

Walau sebenarnya, tak semua pasien mengalami penurunan kadar oksigen.

"Tidak semua orang yang dites positif COVID-19 akan mengembangkan kadar oksigen rendah. Ada orang yang mengalami demam, nyeri otot, dan gangguan GI di rumah yang sangat tidak nyaman, tetapi tidak pernah menunjukkan kadar oksigen yang rendah," ujar Connolly.

Kondisi ini salah satunya seperti yang dialami seorang dokter yang berpraktik di Hospital Universitario La Paz di Madrid, Spanyol sekaligus penyintas COVID-19, Yale Tung belum lama ini.

Sang dokter berusia 35 tahun yang didiagnosis terkena COVID-19 pada Maret 2020 itu melaporkan kadar oksigennya tak pernah di bawah 95 persen (kadar normal oksigen 95-100 persen).

Baca juga: Begini perjalanan kondisi pasien corona dari hari ke hari

Connolly menekankan, orang tidak boleh menganggap oximeter sebagai tes skrining untuk COVID-19.

"Memiliki tingkat oksigen yang normal tidak berarti Anda bebas dari infeksi. Jika Anda khawatir terpapar (COVID-19), pengujian formal masih diperlukan," kata Connolly.

Di sisi lain, Vito mengatakan, oximeter tidak akan berguna jika seseorang lalai menerapkan protokol kesehatan yakni menjaga jarak, mencuci tangan dan memakai masker.

"Sama seperti saya masih sering menemukan orang pakai masker tapi menggunakannya di bawah dagu atau berkerumun tanpa menjaga jarak. Jadi pesan saya jaga diri anda tetap sehat," demikian pesan Vito.

Baca juga: Cara aman lansia aktif di masa pandemi corona

Baca juga: Setop corona gunakan masker, meski lebih baik tetap di rumah

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2020