Jakarta, (ANTARA News) - Seorang sohib nun jauh di sana mengirim selarik pesan singkat lewat dunia maya, "Diriku sedang dirundung mati angin..., aku tidak lagi gemulai seirama lambaian dari rangkaian kata-kata penyembuh luka".

Gayung bersambut dalam hitungan menit, "Moga-moga kita tetap sohiban sampe tuir n` punya cucu 1000". Weleh. weleh....

Puncaknya, cium pipi kanan (cipika), cium pipi kiri (cipiki). Muuaah! Dua sejoli memenuhi ungkapan, "merpati tidak akan ingkar janji". Keduanya menganyam warta persahabatan dengan mengamini bahwa manusia tampil sebagai binatang yang berbicara. Bla, bla, bla....

Dan jangan cepat tersedak tampang tampan Romeo, lekas terbuai wajah ayu Yuliet, karena ajakan sohiban tersedia sebagai salah satu nukilan dari kartu ucapan menyambut resolusi Tahun Baru 2010 yang dapat diunduh dari provider XL.

Keduanya menggenapkan definisi Yunani kuno bahwa manusia dilihat sebagai makhluk yang berbicara. Siapa sesungguhnya diri manusia terpulang dari cermin besar bernama bahasa.

Nah, teknologi informasi dan komunikasi (TI) mewadahi citra manusia sebagai penonton kosmos (kosmotheoros) dengan menggeluti gang-gang sempit dari chatting hingga browsing. Nyambuung terus!

Tunggu dulu...mereka yang berselancar di dunia maya mendeklarasikan empat huruf: murah. Rumusan kerennya, mencari dan menemukan dampak tarif telekomunikasi yang murah terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat Indonesia.

Dengan menjalin tali temali sohiban, bukankah industri sejati berada dalam hubungan Aku dengan Anda yang bersifat antar pribadi atau personal, bukan hubungan Aku dengan Benda yang bercorak Tuan-Budak.

Apakah publik sepantasnya merajuk murah kepada provider demi merujuk kepada manuver khas manusia yang berbahasa dalam manuver sohiban?

Di satu sisi, publik minta murah; di lain sisi, sumber pendapatan perusahaan telekomunikasi dari pelanggan berasal dari "voice", layanan pesan singkat (SMS) dan datin (data dan internet).

Jawabnya justru kembali bernada tanya, apa kata dunia kalau provider bermahal ria. Siapa tuan, siapa budak; siapa aku, siapa engkau.

"Kinerja pasar TI Indonesia 2010 hanya tumbuh tipis atau belum berubah signifikan dibandingkan dengan 2009," kata Country Manager VMware, Edwin Lim, ketika mengomentar studi dari lembaga riset International Data Corporation yang mempoyeksikan pasar TIK nasional tumbuh 8,1 persen, seperti ditulis dalam suplemen harian Bisnis Indonesia.

Ada warta cemas bercampur harap. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) memperkirakan pada 2010 industri telekomunikasi menggenggam peran sentral. Industri telekomunikasi nasional sepanjang 2009 memasang target omzet bisnis senilai Rp82 triliun atau turun 2,4 persen dari target awal Rp84 triliun.

Ini jauh dibandingkan dengan nilai bisnis industri telekomunikasi sepanjang 2008 yang mencapai Rp92,5 triliun. Kambing hitamnya, krisis ekonomi global.

Di tengah badai serba krisis yang dapat mengaramkan bahtera harapan, publik membuka mata lebar-lebar untuk menyambangi pelabuhan berlabel tarif murah. Pertengahan Desember 2009, dalam sebuah pertemuan, Menkominfo Tifatul Sembiring meminta operator menurunkan kembali tarif telekomunikasi.

Padahal, tarif yang berlaku saat ini sudah termasuk yang paling murah di dunia. "Kalau mau turun lagi, operator tidak bisa untung. Rasanya wajar kita mengharapkan investasi kembali," kata Direktur Utama Telkom Rinaldi Firmansyah.

Antara murah dengan murah, pilihannya tetap murah. Silakan mencengkeram murah karena pertanyaannya tetap menyasar seputar nasib para operator telekomunikasi.

Lembaga konsultan Frost and Sullivan meprediksikan pada tahun ini pendapatan dari jasa telekomunikasi bergerak di Tanah Air mencapai 11,776 juta dolar AS. Pada 2011, terbukukan sebesar 11,918 juta dolar AS atau naik 1,2 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Pembacaannya bahwa berjuta-juta dolar AS berhamburan sebagai buah dari relasi Tuan dengan Budak dalam bisnis TI dengan menunggangi label "Animal Economicus". Bukankah ranah sohiban membongkar relasi Aku dengan Benda untuk mencapai butir pencerahan bahwa manusia hidup dengan gerak-diri atau ketertujuan (entelekheia) berwujud spontanitas dan kebebasan manusia.

Mengapa? Menurut eksistensialisme, kuantitas berhubungan dengan apa yang "rendah", dan "kualitas dengan apa yang "luhur". Meminjam istilah filsuf Gabriel Marcel, manusia senantiasa mengalami misteri dalam badan sendiri. Bahasa njlimetnya, manusia dihadapkan kepada "mengada" (etre) dan "memiliki" (avoir).

Dengan mengagungkan nilai keuntungan, provider memiliki. Dengan memuliakan nilai kemurahan, publik memilih untuk mengada. Mengada untuk murah, ini hukum kosmologi bagi publik di kolong langit ini.

Terus menerus mencemplungkan diri ke tubir pencarian keuntungan hanya menunjukkan bahwa relasi Tuan dan Budak terus diabadikan. Dilema? Bukan. Ini karena provider mengada untuk berinovasi.

Contohnya, PT Excelcomindo Pratama Tbk (XL) sebagai salah satu penyedia jasa telekomunikasi di Indonesia meluncurkan penyediaan Layanan Internet Unlimited Prabayar 30 hari dengan menggunakan teknologi 3G/HSDPA.

General Manager Internet Business XL Ari Tjahjanto mengatakan,  "Penawaran kartu perdana layanan Internet Unlimited Prabayar ini merupakan wujud nyata dari komitmen XL untuk dapat menyediakan layanan Internet yang murah, bisa digunakan sepuasnya, serta mudah penggunaannya".

"Kami juga berharap bahwa dengan adanya kartu perdana layanan Internet Unlimited Prabayar ini, akan semakin mendorong tngkat penggunaan Internet oleh masyarakat Indonesia," katanya juga. Beralasankan?

Menurut data dari internetworldstats.com, selama periode tahun 2008 saja tercatat sekitar 25 juta pengguna aktif Internet. Indonesia bahkan tercatat sebagai negara urutan kelima di Asia untuk besaran jumlah pengguna Internet.

Cermin besar dari semesta ungkapan "Yuuk, kita sohiban sampe tua" dalam pembacaan teknologi informasi membaptis relasi sejati dari hubungan antara manusia, bahwa oang yang tidak mampu mengalir untuk mengikuti arus bukan teman bergaul menyenangkan karena dirimu dan diriku bisa merasakan kekecewaan.

Bukankah prinsip bisnis TI, "mengalir untuk mengikuti arus"? Kembalilah kepada relasi diri yang sejati antara Aku dengan Engkau.(*)

Oleh Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2010