Surabaya (ANTARA News) - Staf ahli Menkominfo bidang media massa, Dr. Henri Subiakto, S.H., M.A., mengakui UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran sudah ketinggalan zaman.

"UU Penyiaran memang sudah menjamin keadilan dan mendorong demokrasi, tapi ketinggalan dalam mengantisipasi teknologi dan perkembangan industri," kata di Surabaya, Selasa.

Ia mengemukakan hal itu dalam ujian terbuka doktor di Pascasarjana Universitas Airlangga (Unair) Surabaya dengan promotor Prof. Ramlan Surbakti, PhD., dan akhirnya dinyatakan lulus dengan predikat "Sangat Memuaskan."

Ujian terbuka itu dihadiri sejumlah kolega, di antaranya Prof. Sasa Djuarsa Sendjaja, Ph.D. (Ketua KPI/UI), Freddy Tulung (Kepala Badan Informasi Publik Kemenkominfo), Dr. Ishadi SK MSc (Presdir Trans-TV), Asro Kamal Rokan (anggota Dewas Perum LKBN ANTARA), dan Ahmad Mukhlis Yusuf (Dirut Perum LKBN ANTARA).

Menurut doktor ke-1.172 di Unair yang juga Ketua Dewan Pengawas (Dewas) Perum LKBN ANTARA itu, siaran televisi jaringan merupakan sistem yang menjamin rasa keadilan.

"Dengan sistem televisi jaringan, maka rasa keadilan tercapai, karena televisi nasional yang memiliki stasiun di daerah harus membuka siaran lokal. Itu juga mendorong demokrasi di daerah, karena semuanya bukan hanya suara Jakarta," katanya.

Namun, katanya, hal itu lemah dari aspek industri, karena tren bisnis memang sulit mewujudkan hal itu. "Yang dapat diterima mungkin televisi nasional harus menyisipkan 10 persen siaran daerah-daerah se-Indonesia," katanya.

Pria kelahiran Yogyakarta pada tanggal 29 Maret 1963 yang pernah menjadi loper koran itu menyatakan sistem jaringan secara teknologi juga sangat ketinggalan, karena saat ini muncul konvergensi media seiring era internet.

"Karena itu, ke depan, saya kira UU Pers dan UU Penyiaran itu perlu disatukan," kata alumni S1 Ilmu Komunikasi UGM dan S1 Ilmu Hukum UII Yogyakarta yang menjadi dosen komunikasi di Unair Surabaya sejak tahun 1988 itu.

Dalam kaitan itu, alumni Magister (S2) Ilmu Komunikasi di UI itu mengusulkan keanggotaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga perlu dipilih presiden, karena presiden sekarang dipilih langsung oleh rakyat.

"Keanggotaan KPI sekarang `kan dipilih DPR. Hal itu justru menciptakan negara dalam negara, karena ibarat satu negara ada banyak pemerintah, karena ada pemerintah dan ada pula KPI yang dipilih DPR," katanya.

Padahal, kata Henri Subiakto yang pernah menjadi Direktur Media Watch (Lembaga Konsumen Media) dan Ombudsman Jawa Pos Grup itu, di Amerika Serikat yang demokratis justru KPI-nya dipilih presiden.

"Kalau kita khawatir KPI yang dipilih itu tidak netral justru akan merugikan presiden sendiri, karena dia bisa tidak terpilih lagi oleh rakyat," katanya.

Dalam kesempatan itu, Henri menilai sukses pemerintah itu bukan bila di Indonesia ada sejumlah media massa asing yang masuk, melainkan bila media massa dari Indonesia justru di-ekspor ke negara lain. (T.E011/R009)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010