Jakarta (ANTARA News) - Ada sosok yang sering kita abaikan saat hadir secara fisik, tapi sangat kita dambakan tatkala gaib. Dialah pahlawan.

Pribadi menyejarah yang kita baca biografinya berulang-kali tanpa kenal bosan, kita telusuri dan napak-tilasi jejak pengabdiannya.

Ia tak lagi bisa diajak bicara dan disentuh, namun selalu membuat kita meneteskan air mata ketika mengenangnya dalam hening di malam sepi.

Sosok itu tak pernah sedikitpun mengharapkan pujian, apalagi sekadar ucapan terima kasih atas segala pengorbanan dan perjuangan yang telah dirintisnya.

Kepentingan pribadi, keluarga dan kelompoknya lebur bersama kepentingan umat, bangsa dan kemanusiaan. Darah, keringat dan air matanya habis untuk membuat orang lain tersenyum dan tertawa dalam suasana kemerdekaan, kebebasan dan ketenteraman.

Dia manusia biasa yang sesekali berbuat khilaf dan dosa, namun komitmen dan kontribusinya yang nyata menutupi segala catatan kesalahan dan kelemahannya.

Ia menjadi inspirasi bagi banyak orang, terlepas dari latar belakang suku, agama, ras dan golongan sosial-ekonomi.

Setiap orang, terutama kanak-kanak dan remaja yang sedang mencari jati diri berupaya mempelajari, mengagumi dan akhirnya mengindentifikasi kecocokan moral, spiritual dan intelektual dengan figur yang tak pernah dijumpai seumur hidup mereka.

Sosok itu abadi secara spiritual. Maka, banyak orang yang kemudian menyematkan namanya pada jalan raya dan gang yang disusuri saban pagi dan petang, pada tugu atau monumen peringatan.

Bahkan, tak sedikit yang dibuatkan museum untuk menyimpan rekaman pemikiran dan catatan perjalanan, serta benda-benda bernilai sejarah yang pernah dipakai dan dikenakannya.

Semua orang membutuhkan kehadirannya di tengah pergolakan hidup yang tak menentu.

Tampaknya, suasana kebatinan seperti itu yang mengemuka, ketika kita menyaksikan kepergian K.H. Abdurrahman Wahid akhir tahun lalu.

Meskipun telah wafat sebulan silam, masih banyak orang merasa kehilangan, lalu mengekspresikan kecintaan dan penghormatannya dengan mengusulkan gelar pahlawan nasional.

Kita mengenal Gus Dur sebagai Presiden RI ke-4, tapi seorang sejarawan mengingatkan ada dua Presiden lagi sebelum Gus Dur, yaitu Syafruddin Prawiranegara dan Mr. Assaat.

Jadi, Gus Dur adalah Presiden ke-6 dalam catatan sejarah RI.

Syafruddin dan Assaat sampai detik ini pun belum ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Padahal,tak seorang pun yang meragukan jasa keduanya sebagai Ketua Pemerintah Darurat RI (19 Desember 1948 ? 13 Juli 1949) dan Penjabat Presiden RI di Yogyakarta (27 Desember 1949 ? 15 Agustus 1950).

Kenangan kita kepada Gus Dur membuka lembar sejarah yang nyaris terlupakan, termasuk sejarah K.H. Hasjim Asjarie dan K.H. Abdul Wahid Hasyim, kakek dan ayah Gus Dur yang telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 1964.

Tuntutan gelar pahlawan untuk Gus Dur membangkitkan semangat yang sama, antara lain, dari pendukung Presiden RI ke-4, Jenderal Besar Soeharto.

Keduanya sama-sama pernah memimpin negeri ini, walaupun dengan rentang waktu dan gaya kepemimpinan yang berbeda. Terjadi pro-kontra, itu lumrah, karena tindakan orang besar mengandung dan mengundang banyak tafsir dari kelompok-kelompok beragam kepentingan.

Usulan pemberian gelar pahlawan juga ditujukan kepada Letnan Jenderal (Purn) Sarwo Edhie Wibowo, Komandan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) yang memimpin operasi penindakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1966.

Usulan ini disampaikan secara terbuka dalam sebuah seminar yang diselenggarakan eksponen Angkatan 1966.

Undang-undang nomor 20 tahun 2009 mendefinisikan pahlawan sebagai "warga Negara Indonesia yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah NKRI yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara, atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia".

Definisi itu dirinci lagi menjadi beberapa kriteria terukur dilengkapi persyaratan administrasi untuk mengeceknya. Tapi, kontroversi tentang "kadar kepahlawanan' seorang tokoh tetap tak bisa dihilangkan.

Tokoh sebesar Soekarno saja, proklamator kemerdekaan dan Presiden pertama RI, sempat menyulut perdebatan hangat sebelum ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 1986 bersama Mohammad Hatta, R.P.Soeroso dan Radin Inten II.

Oleh karena itu, prosedur pengajuan dan pemeriksaan gelar pahlawan perlu terus ditaati dan dikawal agar memperkecil efek perbenturan pendapat.

Mari kita serahkan kepada para sejarawan, akademisi, tokoh masyarakat, dan instansi terkait yang tergabung dalam Badan Pembina Pahlawan tingkat daerah dan pusat untuk menjalankan tugasnya. Berdasarkan UU 20/2009, otoritas itu selanjutnya dipegang Dewan Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan yang telah digodok pemerintah.

Jangan sampai kita sebagai bangsa justru terpecah-belah mempertikaikan jejak sejarah pahlawan.

Sudah tentu kita juga tidak boleh terlalu mudah menyematkan gelar pahlawan nasional kepada setiap orang, karena hal itu menyangkut nilai luhur yang ingin kita wariskan kepada generasi masa datang sepanjang Republik Indonesia masih berdiri.

Penetapan gelar pahlawan adalah titik awal, bukan terminal akhir, dari proses pembinaan kebangsaan.

Sampai saat ini kita membukukan 147 tokoh sebagai pahlawan nasional.

Tiga orang tokoh, yaitu Laksamana Muda TNI Jahja Daniel Dharma (John Lie), Prof. Dr. Ir. Herman Johannes, dan Prof. Mr. Achmad Soebardjo baru saja ditetapkan sebagai pahlawan pada 6 November 2009.

Adakah di antara kita yang belum mengenal sosok mereka? Jika ada, itu pertanda betapa banyak pahlawan yang tidak kita kenal.

Dari perspektif gender, pemberian gelar pahlawan menyimpan ironi tersendiri.

Pahlawan berjenis kelamin laki-laki ternyata sangat dominan, 135 orang. Sementara pahlawan perempuan tercatat hanya 12 orang!

Mengapa pahlawan perempuan begitu minim? Apakah ada bias gender dalam alam bawah sadar kolektif kita?

Tak ada yang meragukan perjuangan Tjut Nyak Dien, R.A. Kartini, Rasuna Said, Nani Wartabone atau Fatmawati Soekarno.

Namun, bagaimana dengan Roehana Koeddoes (wartawati pertama dalam sejarah pers nasional), Rahmah el-Yunusiyah (tokoh pendidik dari Minangkabau), Inggit Garnasih (pendamping setia Soekarno saat dipenjara Belanda), dan tokoh perempuan lainnya?

Para sejarawan harus menjawabnya.

Fakta lain, pahlawan dari kalangan TNI/Polri sebanyak 34 orang, sedangkan lainnya (113 orang) berlatar belakang sipil.

Hal ini membuktikan kepahlawanan bukan hanya mencakup perjuangan fisik dan perlawanan senjata seperti kesan yang ditampilkan dalam sinema perang.

Pahlawan bisa tampil dalam bidang pemikiran (Tan Malaka/Tirto Adhi Soeryo), pendidikan (Prof. Hazairin), dakwah (KH Achmad Dahlan/KH Hasjim Asjarie/KH Noer Ali), kebudayaan (Raja Ali Haji/Ismail Marzuki), keilmuan (Dr. Koesoemah Atmadja/Prof. Herman Johannes), diplomasi (Achmad Subardjo), kepemerintahan (Adam Malik/Sri Sultan Hamengkubuwono IX) dan sektor kehidupan lain yang amat luas.

Calon-calon pahlawan masih hidup di tengah-tengah kita saat ini, atau akan lahir di masa depan.

Distribusi daerah pengusul gelar pahlawan yang dikabulkan juga hampir merata di seluruh Indonesia dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur yang paling banyak.

Lengkapnya, Jawa Tengah (26 orang), Jawa Timur (20), Yogyakarta (15), Jawa Barat (12), Sulawesi Selatan (11), Sumatera Barat (10), DKI Jakarta (7), Aceh (7), Sumatera Utara (7), Sulawesi Utara (5), Maluku (4), Riau (4), Nusa Tenggara Timur (3), Irian Jaya/Papua (3), Kalimantan Selatan (2), Bali (2), Sumatera Selatan (2), Bengkulu (2), Lampung (1), Jambi (1), Kalimantan Tengah (1), Kalimantan Barat (1), dan Gorontalo (1).

Daerah yang belum terwakili adalah Banten, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Barat.

Hal itu bukan bermakna daerah pengusul mayoritas memiliki karakter terheroik dan berjasa besar dalam membentuk keindonesiaan kita, tidak pula itu berarti daerah yang belum dikabulkan permohonannya paceklik atau vakum nilai kepahlawanannya.

Mungkin karena figur kepahlawanan daerah setempat belum digali dan diajukan secara meyakinkan. Apalagi, harus disadari bahwa para pahlawan berjuang untuk kepentingan seluruh bangsa, bukan demi daerah kelahiran atau domisili akhir hidupnya.

Eksistensi pahlawan mencerminkan masa lalu kita sebagai bangsa, sekaligus mengilhami kita untuk menapaki masa kini dan masa depan yang lebih baik.

Oleh karena itu, kita jangan sampai tenggelam dalam emosi kekaguman atau kebencian berlebihan, sehingga kehilangan pandangan jernih tentang sejarah yang telah kita lalui dan kehidupan baru yang akan kita bentuk.

Mari kita buat para pahlawan itu tersenyum di alam baka karena kita mampu menghayati dan melanjutkan perjuangan yang sudah mereka tunaikan. (*)

*Penulis adalah Menteri Sosial RI

Oleh Dr. Salim Segaf Al-Jufri*
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010